Anwar Usman Dinyatakan Melanggar Etik Kedua Kalinya

Tanggal: 29 Mar 2024 05:16 wib.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, kembali dinyatakan melanggar etik, kali ini terkait sikapnya yang tak terima dirinya divonis melanggar etik terkait Putusan 90.

Dalam putusannya, Ketua MK I Dewa Gede Palguna menyatakan, "Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam prinsip Kepantasan dan Kesopanan butir penerapan angka 1 (satu) dan angka 2 (dua) Sapta Karsa Hutama." Dalam kasus ini, Anwar Usman diberikan sanksi berupa Teguran Tertulis.

Putusan 90 yang dikabulkan MK mengubah syarat capres-cawapres, memungkinkan Gibran, keponakan Anwar Usman, untuk menjadi cawapres. Namun, putusan ini menimbulkan polemik panjang, dengan Hakim MK Saldi Isra dan Arief Hidayat dalam sikap beda pendapat (dissenting opinion), menilai putusan tersebut janggal. Dugaan pelanggaran etik pun mengalir ke MK, yang akhirnya membentuk tim adhoc. Hasilnya, semua hakim MK dinyatakan melanggar etik dengan sanksi teguran lisan. Namun, Anwar Usman mendapat sanksi lebih berat, yakni pencopotan dari jabatan Ketua MK dan tidak boleh mengadili perkara yang mengandung konflik kepentingan. Posisinya digantikan oleh Suhartoyo.

Setelah penjatuhan sanksi etik itu, Anwar Usman dilaporkan oleh seorang advokat bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Laporan Zico didasarkan pada keterangan pers yang dilakukan Anwar Usman pada 8 November 2023, pasca-pemberian sanksi berat dari MK. Anwar Usman dinilai merendahkan marwah MK dan MK serta menunjukkan sikap menyangkal putusan lewat narasi bahwa ada skenario untuk membunuh karakternya.

Anwar Usman juga disebut melawan putusan MK lewat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan alasan bahwa tak semata berkaitan dengan jabatan, melainkan harkat, martabat, dan harga dirinya.

Dalam konpers tersebut, Anwar Usman dianggap telah melanggar Sapta Karsa Hutama tentang prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Upaya Anwar Usman untuk merebut kembali posisi Ketua MK pun dianggap sebagai bentuk pelanggaran etik.

Akibat tindakannya tersebut, Anwar Usman dinilai melanggar kode etik hakim, yang seharusnya menjadi contoh integritas dan moralitas dalam menjalankan tugasnya. Pelanggaran etik bagi seorang hakim, terutama seorang pemimpin lembaga peradilan seperti Ketua MK, tentu merupakan hal yang serius dan dapat merusak citra lembaga peradilan itu sendiri.

Sebagai pejabat yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas, independensi, dan martabat lembaga peradilan, pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman menunjukkan bahwa reformasi di bidang hukum dan peradilan masih memerlukan perbaikan yang berkelanjutan. Diperlukan langkah-langkah konkrit yang dapat mencegah terjadinya pelanggaran etik oleh para pejabat peradilan, serta penegakan sanksi yang tegas bagi setiap pelanggaran yang terjadi.

Selain itu, adanya pelanggaran etik oleh Anwar Usman dalam perkara ini juga menimbulkan prasangka negatif terhadap lembaga peradilan, yang seharusnya menjadi tempat penegakan keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini, transparansi, akuntabilitas, dan independensi lembaga peradilan perlu diperkuat untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan yang dihasilkan dapat dipercaya dan tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan politik ataupun golongan tertentu.

Pengawasan yang ketat terhadap perilaku para hakim dan pejabat peradilan, serta penerapan sanksi yang tegas bagi setiap pelanggaran etik, menjadi sebuah keharusan untuk memastikan bahwa lembaga peradilan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan memberikan perlindungan serta keadilan kepada masyarakat.

Dengan demikian, kasus pelanggaran etik yang dilakukan Anwar Usman merupakan sebuah peringatan bagi semua pihak terkait pentingnya menjaga integritas, moralitas, dan independensi dari lembaga peradilan, yang merupakan pilar utama dari sistem peradilan yang adil dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Langkah-langkah perbaikan dan penguatan mekanisme pengawasan serta penegakan sanksi terhadap pelanggaran etik yang terjadi di lembaga peradilan harus segera dilakukan demi terwujudnya sistem peradilan yang bersih, independen, dan dapat dipercaya oleh masyarakat.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved