Aneh, Kenapa Jokowi Menggagas RUU Pemilu yang Mencekik Lehernya Sendiri?

Tanggal: 27 Jul 2017 11:21 wib.
Kemarin, 26 Juli 2017, tersiar kabar tentang Prabowo Subiyanto yang berencana bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebenarnya, rencana pertemuan antara keduanya pernah tersiar pada awal Maret 2017 lalu. Namun hingga hampir 5 bulan keduanya belum juga bertemu.

Banyak yang berspekulasi jika pertemuan antara kedua ketua umum partai politik tersebut untuk membicarakan persoalan Pemilu 2019, khusunya RUU Pemilu yang saat ini tengah dibahas di DPR RI.

Menurut para spekulan politik, kedua elit parpol tersebut keberatan dengan aturan main presidential threshold (PT) yang menetapkan ambang batas 20% untuk kursi DPR RI dan 25% untuk perolehan suara.

PT yang diajukan pemerintah Jokowi memang tidak lazim. Sebelumnya, PT mengacu pada hasil pemilu legislatif dalam periode yang sama. Tetapi, karena sejak 2019, pileg dan pilpres  digelar secara serentak, maka tidak mungkin lagi mengajukan pasangan capres-cawapres dengan menggunakan hasil pileg pada periode yang sama.

Pemerintah pun kemudian mengusulkan PT dengan merujuk pada hasil pileg 5 tahun sebelumnya. Dengan demikian, parpol yang baru ikut dalam pemilu 2019 tidak memiliki hak atas pencalonan presiden.

Dengan aturan PT seperti yang diusulkan pemerintah Jokowi, semua parpol, termasuk PDIP,  tidak dapat mengusung pasangan capres-cawapresnya tanpa berkoalisi dengan parpol lainnya. Karenaya, jika akan menusung kadernya, PDIP wajib merangkul parpol lainnya. Demikian juga dengan Gerindra. Jika akan mengusung Prabowo, Gerindra harus mendapat dukungan parpol lain.

Jika dicermati, sebenarnya ada yang lebih menarik dari persoalan PT. Sayangnya, belum terdengar seorang pun yang mengangkatnya. Persoalan itu adalah masih digunakannya aturan 50% plus 1 sebagai penentu pemenang pilpres.

Pikirkan. Kalau aturan 50% plus 1 tidak diberlakukan dalam Pilgub DKI, siapakah yang keluar sebagai pemenangnya? Jawabannya sudah pasti Ahok-Djarot.

Sesuai dengan hasil survei, pasangan Ahok-Djarot mengungguli berbagai rilis survei dengan mengantongi tingkat elektabilitas sekitar 56%. Tetapi, dengan sistem 50% plus 1, tingkat elektabilitas yang aman bagi calon petahana adalah di atas 60%. Karena, suara yang diraih calon petahana rerata 10% di bawah hasil survei.

Pada Pilpres 2009, suara yang diraih SBY lebih rendah sekitar 7% dari rerata hasil survei yang menyebut tingkat elektabilitas SBY berada di angka 70%.

Saat ini sejumlah rilis survei menyebut tingkat elektabilitas Jokowi berada di kisaran 55%. Dengan angka tersebut, Jokowi akan kesulitan memenangi Pilpres 2019.

Di sisi lain, polarisasi yang terbentuk sejak 2012 semakin mengkristalkan pro dan anti Jokowi. Dengan situasi ini, pendukung Jokowi tidak mungkin lompat pagar. Demikian juga sebaliknya.

Dengan situasi ini, yang seharusnya dilakukan Jokowi adalah memecah suara lawan dengan cara memunculkan figur capres yang mendapat dukungan dari akar rumput kelompok anti-Jokowi. Untuk itu, Jokowi harus melepas Hanura, Golkar, PKB, PPP, dan mungkin juga PAN untuk mengusung pasangan capres-cawapresnya sendiri.

Figur capres yang mendapat dukungan dari kelompok pemilih anti-Jokowi ini pastinya akan menggerus suara Prabowo atau calon lainnya. Di sisi lain, suara pendukung Jokowi dipastikan telah solid. Dengan demikian Jokowi akan mengungguli kandidat-kandidat lainnya. Jika aturan 50% plus 1 ditiadakan, maka secara otomatis Jokowi akan memenangi Pilpres 2019.

Perlu juga diingat, dalam pemilihan presiden, gubernur, walikota, dan bupati, figur calon lebih menentukan. Sementara fungsi parpol hanya sebatas mengajukan.

Pikirkan, jika pilpres digelar pada hari ini, siapakah di antara Jokowi dan Prabowo yang akan meraup suara terbanyak jika Gatot Nurmantyo dicapreskan?

Dengan pengalaman Pilgub DKI 2017 dan berkaca pada perbandingan antara rilis survei dan hasil resmi KPU, seharusnya pemerintah Jokowi meniadakan aturan main 50% plus 1.

Tetapi, yang diajukan pemerintah Jokowi dalam RUU Pemilu adalah masih digunakannya sistem 50% plus 1 yang memberatkan pemenangan Jokowi. (Kalau pun lolos ke putaran kedua, Jokowi akan kalah) Di sisi lain, aturan PT pun menyandera PDIP untuk tidak leluasa mencalonkan kadernya.

Inilah kemisteriusan RUU Pemilu. Kenapa Jokowi mengusulkan rancangan pemilu yang mencekik dirinya sendiri. Apa strategi Jokowi di balik RUU Pemilu yang digagasnya. Inilah yang harus diwaspadai oleh Prabowo dan SBY.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved