Algoritma Bikin Terjebak dalam Gelembung, Media Sosial Memperparah Polarisasi Politik!
Tanggal: 15 Mei 2025 19:52 wib.
Tampang.com | Media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi momen, tapi juga medan pertempuran opini yang memanas. Di balik semua itu, algoritma menjadi "penjaga gerbang" yang menentukan informasi apa yang tampil di linimasa pengguna.
Masalahnya, algoritma ini justru mempersempit perspektif pengguna, karena lebih sering menyajikan konten serupa dengan yang sudah pernah disukai atau dikomentari. Akibatnya, ruang diskusi publik berubah menjadi ruang gema yang memperkuat bias, bukan memperluas wawasan.
Kita Disuguhkan Apa yang Kita Ingin, Bukan yang Kita Butuh
Algoritma dirancang untuk memaksimalkan interaksi, bukan keakuratan atau keberagaman informasi. Ini membuat pengguna cenderung terus menerima informasi yang memperkuat keyakinan pribadi, dan menyingkirkan pandangan berbeda.
“Fenomena echo chamber dan filter bubble mempersempit diskursus demokratis. Akhirnya, publik makin terbelah dan sulit saling memahami,” kata Bayu Hidayat, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia.
Konten Emosional Lebih Diunggulkan
Platform media sosial secara algoritmik mempromosikan konten yang memicu emosi—baik kemarahan, kekaguman, maupun ketakutan. Pola ini secara tidak langsung mendukung polarisasi karena memperkuat reaksi emosional terhadap isu-isu sensitif, seperti agama dan politik.
Manipulasi Opini Lewat Bot dan Microtargeting
Lebih parah lagi, algoritma bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebar disinformasi dan manipulasi opini secara masif. Dengan bantuan bot, iklan politik bertarget, dan strategi konten yang sistematis, ruang digital bisa menjadi senjata politik yang ampuh—namun berbahaya.
Solusi: Desain Algoritma Etis dan Edukasi Digital
Para ahli menyerukan pentingnya transparansi algoritma dan akuntabilitas platform media sosial. Selain itu, literasi digital harus ditingkatkan agar pengguna lebih kritis dalam mengonsumsi konten dan tidak mudah terprovokasi.
“Kita butuh ruang digital yang mendukung demokrasi deliberatif, bukan sekadar tempat memproduksi klik dan konflik,” ujar Bayu.