Akankah, SBY Mendukung Sosok yang Pernah Disebutnya sebagai Drakula

Tanggal: 27 Jul 2017 15:57 wib.
Sebagaimana yang diberitakan, malam ini Kamis, 27 Juli 2017 pukul 20.30, rencananya Prabowo akan menemui SBY di Cikeas. Atas pertemuan dua pucuk pimpinan parpol tersebut, tidak sedikit yang mengaitkannya dengan pertaruang Pemilu 2019, khusunya Pilpres 2019.

Bahkan tidak sedikit yang berspekulasi jika kedua mantan jenderal itu akan berkoalisi. Katanya, kubu Cikeas menawarkan Agus harimurti Yudhoyono sebagai cawapres bagi Prabowo yang dipastikan akan maju sebagai capres.

Pertemuan keduanya sudah pasti akan membahas persoalan politik. Tetapi, apakah keduanya akan sampai pada pembicaraan terkait koalisi?

Pilpres 2019 akan berlangsung lebih dari 20 bulan lagi. Selama rentang waktu itu dipastikan akan terjadi banyak perkembangan politik di tanah air dan manca negara. Apalagi memasuki tahun politik 2018 akan banyak peristiwa yang tidak terduga. Karenanya, masih terlalu jauh untuk membicarakan bentuk koalisi apalagi sampai pada kesepakatan politik.

Spekulasi tentang kubu Cikeas yang menawarkan AHY kepada Prabowo tentunya menjadi menarik untuk dicermati.

Pertama, Meski terbilang masih bau kencur, AHY memiliki tingkat popularitas tidak bisa dianggap rendah. Popularitas yang diraihnya setelah mengikuti Pilgub DKI 2017 ini tentu menjadi modal bagi AHY jika akan maju dalam Pilpres 2019.

Konon, jelang batas akhie waktu pendaftaran cagub-cawagub DKI 2017-2022, Prabowo menemui SBY. Kepada Prabowo, SBY menawarkan AHY untuk maju sebagai cagub dengan Sandiaga Uno sebagai cawagubnya.

Karuan saja, Prabowo langsung menolak tawaran itu. Penolakan Prabowo itu ternyata terbukti benar. AHY dengan nama besar Yudhoyono di belakang namanya hanya mampu meraup 17% suara.

Masalahnya, Pilpres 2019 nanti akan berbeda bagi Prabowo. Dalam persaingan merebut kursi RI 1, Prabowo telah mencobanya sejak 2004. Ketika itu Prabowo maju dalam konvensi Partai Golkar. Selanjutnya, Prabowo mendampingi Megawati sebagai cawapres dalam Pilpres 2009. Dan terakhir, Prabowo mencoba peruntungannya dengan terjun sebagai capres pada Pilpres 2014. Bisa jadi, Pilpres 2019 menjadi kesempatan terakhir bagi Prabowo untuk mencicipi kursi RI 1.

Karenanya,, meski AHY memiliki modal yang mencukupi, Prabowo tidak akan tergesa-gesa menerimanya. Apalagi, pasca Pilgub DKI Jakarta nama AHY perlahan tenggelam. Sekalipun sejumlah elit Demokrat tanpa henti menyuarakan nama AHY, namun nama AHY nyaris tidak lagi terdengar, Singkatnya, AHY telah kehilangan panggungnya.

Hubungan kekeluargaan AHY dengan Ibas yang namanya kembali santer disebut dalam tipikor pun pastinya akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi Prabowo.

Singkatnya, dengan kesempatan yang masih tersisa, sulit bagi Prabowo untuk mencoba-coba peruntungannya dengan memilih AHY sebagai cawapresnya.

Tetapi, persoalan antara Prabowo dan SBY tidaklah sederhana. Meski tidak seekstrim Prabowo-Wiranto, hubungan Prabowo-SBY pun tidaklah harmonis.

Bahkan, selama ini, belum sekalipun keduanya masuk dalam satu kelompok yang sama. Dalam Pilpres 2014, misalnya, meski Hatta Rajasa merupakan besan dari SBY, tetapi secara resmi, Demokrat memutuskan untuk netral. Demikian juga, ketika Pilgub DKI 2017 memasuki putaran kedua, Demokrat mengambil posisi netral. Dan, meski dekat dengan Koalisi Merah Putih, secara resmi Demokrat bukan menjadi anggotanya.

Meski katanya, dalam dunia politik praktis apa saja bisa terjadi. Kawan bisa menjadi lawan. Sebaliknya, lawan bisa jadi kawan. Yang ada hanya kepentingan. Tetapi, perseteruan para jenderal alumni Mei 1998 nampaknya berbeda. Walaupun sudah lewat hampir 20 tahun, namun para jenderal tersebut masih enggan untuk menyatu.   

Para politisi bisa saja melakukan segala macam manuver demi kepentingannya. Mau main di bawah meja. Mau tukar guling di belakang panggung. Atau saling himpit di balik selimut. Tapi, ada satu yang mungkin mereka lupakan: ingatan publik. Ingatan publik inilah yang menjadi faktor X dalam patgulipat politisi.

Jelang pilpres 2014 ini publik kembali diingatkan pada aksi teror yang terjadi pada Jumat 17 Juli 2009 atau sembilan hari pasca pilpres. Kurang dari tiga jam setelah kejadian, Presiden SBY membacakan pidatonya. 

Pada 11 Maret 2013 SBY bertemu dengan Prabowo. Menurut Fadli Zon, dalam pertemuan tersebut keduanya membahas isu-isu strategis. Dalam keterangan tertulisnya orang terdekat Prabowo itu mengutarakan SBY menyampaikan situasi terkini Indonesia di berbagai bidang. SBY juga memaparkan apa yang telah dilakukan dan tantangan-tantangan Indonesia ke depan. Sedang isu yang dibicarakan antara lain soal hubungan internasional, ekonomi, pertanian, perdagangan, investasi, pariwisata, birokrasi, energi dan politik.

Lantas, SBY dan Prabowo terlibat dalam perbincangan empat mata selama 20 menit. Dan, sampai saat ini belum ada yang mengungkapkan isi dari pembicaraan empat mata tersebut,

Keesokan harinya, 12 Maret 2013 7 Jenderal datang menemui SBY. Luhut Panjaitan yang hadir dalam pertemuan tersebut mengaku membahas pemilihan 2014, utamanya pemilihan presiden. Menurutnya, purnawirawan menyampaikan kepentingannya terkait pemilihan presiden mendatang.

“2014 jelas, siapapun yang terpilih itu yang terbaik. Kami menyampaikan bahwa kami punya kepentingan 2014 bahwa presiden yang terpilih, harus atau sebaiknya adalah orang yang mampu melakukan dan memanfaatkan succes story Presiden SBY,” papar Luhut.

Ketika itu Luhut yang datang bersama Subagyo H.S., Fahrul Rozi, Agus Widjojo, Johny Josephus Lumintang, Sumardi, dan Suaedy Marasabessy.

Apakah penjelasan Luhut tersebut sebagai pengungkapan atas isi pembicaraan rahasia SBY-Prabowo? Kemudian, apakah kedatangan ketujuh jenderal itu sebagai isyarat ketidaksetujuan mereka atas pencalonan Prabowo sebagai capres 2014?

Bila menyimak Apa Kabar Indonesia pada 13 Maret 2013, dengan tegas Luhut menyatakan kriteria calon presiden 2014 adalah tokoh yang tidak memiliki beban masa lalu. Dari pernyataan Luhut di TV One tersebut nampak jelas ada kesamaan pandangan antara 7 jenderal yang datang bersamanya dengan sikap SBY yang disampaikan pada pidato pasca bom Ritz-Marriott yang terjadi pada 17 Juli 2009..

“... Barangkali ada diantara kita yang di waktu yang lalu melakukan kejahatan, membunuh, menghilangkan orang, barangkali dan para pelaku itu masih lolos dari jeratan hukum, kali ini negara tidak boleh membiarkan mereka menjadi drakula dan penyebar maut di negeri kita ... “ Inilah penggalan pidato Presiden SBY beberapa saat setelah pemboman Hotel Ritz-Marriott.

Tanpa perlu bersusah payah mencari tahu siapa sosok drakula yang dimaksud SBY, publik sudah menyimpulkan bila yang drakula dimaksud SBY adalah Prabowo Subianto. Kesimpulan publik tersebut justru dikuatkan oleh desakan pendukung Prabowo agar SBY menglarifikasi isi pidatonya tersebut.

Sosok Prabowo memang sulit dilepaskan dari peristiwa penculikan aktivis pada 1998. Proses hukum terhadap pelaku penculikan yang setengah-setengah justru menempatkan Prabowo sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Ditambah lagi dengan dipecatnya jenderal bintang tiga ini dari dinas kemiliteran membuat mantan Pangkostrad ini kesulitan membantah keterlibatannya. 

Jika, berkaca pada pidato 17 Juli 2009, pertemuan SBY dengan 7 jenderal purnawirawan dan konstelasi peta politik pra dan pasca 2014, kecil kemungkinan SBY akan mengarahkan Demokrat untuk mendukung Prabowo sebagai capres 2019. Mendukung Prabowo bagi SBY sama saja dengan mengkhianati para jenderal pro-Wiranto. Karenanya terlalu jauh jika berpikir SBY mau berkoalisi dengan Prabowo.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved