Ada Pola Serupa pada Serangan yang Menyasar Prabowo dan SBY

Tanggal: 16 Jan 2018 12:54 wib.
Sekalipun tengah mendapat serangan yang menimbulkan kerusakan yang begitu masif, Prabowo Subianto seharusnya masih bisa tersenyum lebar. Sebab, pola-pola serangan terhadap Ketua Umum Partai Gerindra ini mudah terbaca dengan begitu jelas.

Baru saja Pilkada Serentak 2018 memasuki tahap-tahap awal yang menandakan babak baru tahun politik di tanah air jelang Pemilu Serentak 2019, serangan mematikan sudah dilancarkan ke arah Prabowo pada 11 Januari 2018.

Layaknya strategi Blitzkrieg yang digelar pasukan Nazi Jerman, serangan yang ditujukan kepada Prabowo pun memenuhi unsur kecepatan dan kejutan. Seperti Blitzkrieg, serangan kepada Prabowo pun dilancarkan dengan berbagai manuver yang didukung oleh “serangan udara”.

Serangan mendadak dan penuh kejutan ala blirzkrieg dapat membuat lawan kesulitan meresponnya. Akibatnya, lawan mengalami ketidakseimbangan. Dan, pada akhirnya dapat ditaklukkan, bahkan dimusnahkan.

Serangan serupa pun pernah dialami oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Februari 2017 atau sehari jelang hari pencoblosan Pilgub DKI 2017 di mana putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono turun sebagai cagub.

Ketika itu SBY mendapat serangan kilat yang diaba-abai oleh Antasari Azhar. Aba-aba Antasari ini seperti tembakan yang menandai serangan frontal ke arah SBY. Dalam waktu singkat, serangan dari segala penjuru, khususnya dunia maya membombardir Cikeas.

Jika diperhatikan lebih jauh, ternyata ada kemiripan pada serangan kilat yang ditujukan ke arah Prabowo dan SBY. Kemiripan itu bukan terletak pada rentang waktu antara dilancarkannya serangan dengan waktu pelaksanaan hari pencoblosan, tetapi pada latar belakang “aktor” utama pelaku penyerangan.

Prabowo diserang oleh La Nyalla Matalitti yang pernah berurusan dengan hukum atas kasus dugaan korupsi penggunaan dana hibah pada Kadin Jatim untuk pembelian IPO (initial public offering) Bank Jatim pada 2016. Setelah melewati serangkaian proses hukum yang diwarnai kontroversi, La Nyalla akhirnya divonis bebas pada 27 Desember 2016.

Sementara, serangan kepada SBY diaktori oleh Antasari Azhar yang pernah berurusan dengan hukum atas keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen pada 2009. Antazari yang divonis 18 tahun penjara akhirnya mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo pada 23 Januari 2017.

Menariknya, setelah mendapat gempuran La Nyalla, Prabowo mendapat serangan dari Muhammad Al Khathath (MAT) alias Muhammad Gatot Saptono.

Berbeda dengan La Nyalla yang beramunisikan isu politik uang atau money politic, MAT menggempur Prabowo denga berpelurukan isu politisasi agama.

Namun demikian, ada persamaan antara MAT dengan La Nyalla dan Antasari. MAT saat ini masih berurusan dengan hukum karena kasus dugaan makar yang melibatkannya ditangguhkan sejak Juli 2017.  

Sebelumnya pada Agustus 2017, Prabowo juga diserang dengan mencoba mengaitkannya dengan aktivitas penyebaran hoax dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh kelompok Saracen pimpinan Jasriadi.

Upaya pengaitan Prabowo dengan kelompok Saracen kembali dilakukan setelah Asma Dewi ditangkap pada September 2017 dengan tuduhan mengunggah konten ujaran kebencian dan penghinaan agama dan ras tertentu. Dewi pun diduga pernah mentransfer uang sebesar Rp 75 juta ke pengurus inti kelompok Saracen. 

Entah Saracen yang dikaitkan dengan Prabowo ini benar-benar ada atau hanya karangan fiksi semata. Sebab, Jasriadi yang disebut-sebut sebagai pimpinan Saracen didakwa dengan pasal ilegal akses. Sementara, dalam persidangan Dewi, Jaksa tidak menyebut adanya transfer Rp 75 juta kepada Saracen.

Jika membaca polanya, yaitu dimanfaatkannya orang-orang yang pernah atau sedang berperkara dengan hukum, seharusnya serangan dengan pola serupa akan kembali dilancarkan terhadap Prabowo pada waktu-waktu mendatang.

Kemungkinan ini dikarenakan masih adanya orang-orang di sekitar Prabowo yang penyelesaian kasusnya masih mengambang. Dari kasus makar yang melibatkan belasan orang yang dekat Prabowo, kasus Bachtiar Nasir yang dituduh mengirimkan bantuan logistik kepada ISIS, sampai kasus chat mesum yang melibatkan Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan Firza Husein.

Menariknya, saat kasus chat mesum mencuat, status Firza adalah tersangka dalam kasus dugaan makar yang juga menyeret orang-orang yang dikenal dekat dengan Prabowo.

Dalam serangan berupa pembunuhan karakter, sebenarnya kebenaran bukanlah faktor penentu. Di sini yang terpenting adalah tertanamnya pandangan buruk atau negatif pada korbannya.

Dalam kasus Saracen, misalnya, meski keterkaitan Prabowo dengan kelompok ini belum terbukti, bahkan keberadaan kelompok ini pun masih dipertanyakan, tetapi, nama Prabowo sudah begitu melekat erat, di mana setiap kali nama Saracen disebut, nama Prabwo langsung terlintas dalam pikiran.

Begitu juga dengan SBY. Setelah cerita Antasari itu menyebar dan dipercaya kebenarannya, SBY sulit membantahnya apalagi melepaskan diri dari pendangan yang mengaitkannya dengan kasus pembunuhan Nasruddin.

Cerita La Nyalla, Al Khathath, Antasari, dan lainnya adalah bentuk propaganda di mana kebenaran tidak diperlukan sebagai landasannya. Sebab, kebohongan pun jika dihembuskan secara masif dan terus menerus akan lebih diterima sebagai kebenaran dibanding dengan kebenaran yang baru datang di belakang hari.

Karenanya, Prabowo dan SBY tidak perlu repot-repot mencari dalang atau otak atas serangan terhadap dirinya. Demikian juga dengan masyarakat, terutama netizen, tidak perlu menduga-duga dalang di balik layar serangan terjadap Prabowo dan SBY. Sebab, sosok yang sekarang ada dalam pikiran bukanlah dalangnya.

Anggap saja situasi ini sebagai pegelaran komedi situasi. Coba cek di Google dengan kata kunci “9 Desember 2017”, tanggal di mana La Nyalla mengaku dimarahi dan dimaki-maki oleh Prabowo. 

 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved