Temenan Sama Mantan, Yes or No?
Tanggal: 17 Apr 2025 08:46 wib.
Nggak sedikit orang yang bilang, “Kita tetap bisa kok jadi teman walaupun udah putus.” Tapi… benarkah semudah itu? Temenan sama mantan tuh kayak main api yang udah padam—kelihatannya aman, tapi bisa aja masih nyisain bara. Ada kalanya hubungan setelah putus bisa tetap hangat, tapi ada juga yang justru makin bikin ribet hati dan susah buat benar-benar lanjut ke depan.
Setelah hubungan berakhir, ada dua kemungkinan besar yang biasanya terjadi: jadi asing atau jadi teman. Menjadi asing terasa menyakitkan, apalagi kalau dulunya sangat dekat. Tapi menjadi teman juga bukan jalan keluar yang selalu ideal. Karena faktanya, perasaan yang pernah tumbuh itu nggak selalu hilang begitu saja, dan pertemanan yang dipaksakan kadang malah bikin bingung—ini masih peduli sebagai teman atau masih berharap?
Temenan sama mantan sebenarnya bisa terjadi, tapi perlu syarat yang nggak main-main. Harus ada kejelasan perasaan. Kalau salah satu masih menyimpan rasa, maka pertemanan itu bisa jadi jebakan perasaan yang menyiksa. Bisa jadi alasan untuk tetap dekat, meski hati tahu bahwa hubungan romantis sudah selesai. Kadang, seseorang berpura-pura kuat hanya karena ingin tetap hadir di hidup mantannya—padahal diam-diam berharap ada peluang kedua.
Selain itu, keberadaan mantan dalam lingkaran pertemanan bisa memengaruhi hubungan baru. Misalnya, ketika sedang dekat dengan seseorang yang baru, lalu mantan masih intens hadir dalam kehidupan, itu bisa menimbulkan rasa nggak nyaman. Bahkan jika benar-benar tidak ada apa-apa lagi, tetap saja ada batasan yang perlu dijaga. Karena orang baru mungkin merasa tidak aman jika tahu bahwa pasangan masih terlalu dekat dengan masa lalunya.
Tapi bukan berarti semua mantan harus dijauhi, ya. Ada juga kok kasus di mana hubungan berakhir dengan sehat dan kedua belah pihak memang sudah benar-benar selesai secara emosional. Dalam kondisi seperti itu, pertemanan bisa tumbuh tanpa beban, tanpa baper, dan justru membawa energi positif. Biasanya, ini terjadi jika proses putusnya jelas, dewasa, dan tanpa drama.
Yang perlu diingat adalah: kedekatan yang tidak jelas bisa jadi racun untuk diri sendiri. Kalau hati masih sering berharap, masih suka baper kalau dia cerita tentang orang baru, atau masih sering stalking sosial medianya diam-diam, mungkin belum waktunya jadi teman. Karena yang katanya “temenan” itu bisa jadi bentuk lain dari denial—nggak rela sepenuhnya kehilangan, tapi juga nggak bisa lagi memiliki.
Temenan sama mantan bisa jadi bentuk dari move on yang sehat, tapi juga bisa jadi tanda belum benar-benar lepas. Jadi, penting banget buat jujur ke diri sendiri. Apakah tetap dekat karena benar-benar nggak ada rasa, atau karena takut kehilangan sepenuhnya? Apakah masih peduli karena memang masih sayang, atau hanya belum terbiasa tanpa dia?
Nggak semua yang pernah dekat harus terus ada di hidup. Kadang, menjaga jarak adalah cara terbaik untuk sembuh dan berkembang. Memberi ruang untuk diri sendiri dan mantan bisa jadi bentuk cinta terakhir—bukan karena ingin jauh, tapi karena ingin masing-masing punya kesempatan menemukan kebahagiaan yang baru, tanpa bayang-bayang masa lalu.
Jadi, temenan sama mantan itu bukan soal bisa atau nggak bisa, tapi soal siap atau nggak siap. Siap untuk benar-benar lepas, siap untuk nggak berharap lebih, dan siap menerima bahwa hubungan yang dulu pernah ada, kini tinggal kenangan. Kalau sudah bisa sampai titik itu, mungkin, temenan memang bukan ide buruk.
Tapi kalau belum... mungkin lebih baik berhenti pura-pura kuat, dan mulai belajar ikhlas dengan tenang.