Solusi Pesta Pernikahan Tanpa Utang: Menilik Ajaran Agama dan Kesiapan Finansial
Tanggal: 28 Nov 2024 16:55 wib.
Dalam ajaran Islam, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Namun, pernikahan dalam Islam juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah pemberian mahar atau mas kawin oleh pengantin pria kepada pengantin wanita. Mahar ini memiliki fleksibilitas dalam bentuk dan jumlahnya, tergantung pada kemampuan finansial pengantin pria. Dalam konteks ini, Islam memberikan kelonggaran bagi yang terbatas secara ekonomi untuk memberikan mahar yang sesuai dengan kemampuannya.
Di samping mengikuti ajaran agama, masyarakat Indonesia juga menjunjung tinggi adat dan budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial. Begitu juga dalam pernikahan, adat sering kali memengaruhi tata cara, simbol, hingga kebutuhan finansial. Setiap daerah memiliki tradisi pernikahan yang berbeda, seperti di Provinsi Aceh yang menerapkan mahar dalam bentuk emas dengan satuan mayam, dengan nilai mahar minimal yang bisa mencapai puluhan juta rupiah tergantung pada kesepakatan keluarga kedua mempelai.
Fenomena biaya pernikahan yang tinggi tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Persiapan pernikahan, seperti menyewa pakaian pengantin, seserahan, dekorasi, dan konsumsi, sering kali membutuhkan biaya yang besar. Bahkan, kebutuhan kecil seperti menyewa baju pengantin saja dapat menelan biaya jutaan rupiah. Oleh karena itu, menikah tidak hanya menjadi langkah spiritual, tetapi juga memerlukan kesiapan finansial yang matang.
Di satu sisi, masyarakat merasa berkewajiban menjalankan adat dengan baik dalam pernikahan, namun di sisi lain, masih banyak pasangan yang terpaksa berhutang demi mewujudkan pesta pernikahan yang megah. Ironisnya, kebahagiaan di hari pernikahan bisa berubah menjadi beban finansial jangka panjang. Meminjam uang demi mewujudkan pesta impian dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi yang membahayakan stabilitas keluarga di masa depan.
Jika kita kembali pada ajaran Islam, Rasulullah SAW memberikan teladan tentang kesederhanaan dalam pernikahan. Sabda beliau mengandung makna bahwa inti dari pernikahan bukanlah kemewahan atau besarnya pesta, melainkan pelaksanaan sunah yang bertujuan untuk menjaga diri dari perbuatan keji dan maksiat. Prinsip sederhana dalam pernikahan bisa tetap menjaga kebahagiaan pasangan tanpa membebani kondisi finansial keluarga.
Selain itu, pentingnya stabilitas keuangan di awal pernikahan juga tidak bisa diabaikan. Stabilitas keuangan dapat memberikan kedamaian batin dan meminimalisir konflik dalam rumah tangga. Pasangan muda perlu menyusun rencana keuangan yang matang, dengan memperhitungkan pengeluaran, menabung, dan berinvestasi untuk memastikan masa depan yang lebih layak.
Banyak faktor mempengaruhi seseorang untuk berhutang demi memenuhi biaya resepsi pernikahan, antara lain gaya hidup hedonis, tekanan lingkungan, serta minimnya literasi keuangan. Pasangan perlu menyadari bahwa memulai kehidupan rumah tangga tanpa beban hutang yang berat akan membuat mereka lebih siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Maka, penting bagi pasangan untuk belajar mengelola keuangan dengan baik, mengendalikan pengeluaran, dan hadir dengan kesadaran untuk tidak memaksakan diri mengadakan pesta pernikahan yang di luar kemampuannya.
Dalam konteks pernikahan, kemegahan perayaan tidaklah menjadi ukuran keberhasilan. Kebahagiaan pasangan bisa diraih dengan sederhana, dengan tetap memperhatikan kesejahteraan finansial keluarga. Kesiapan finansial yang matang dan kesadaran akan pentingnya stabilitas keuangan dapat menjadi kunci bagi kelangsungan pernikahan yang harmonis dan berkelanjutan.
Pernikahan tanpa utang bukanlah sekadar impian, tetapi bisa menjadi kenyataan dengan kesadaran akan pentingnya kesiapan finansial dan kesederhanaan dalam merayakan pernikahan. Sebuah pernikahan yang dijalani tanpa beban hutang akan menjadi modal awal bagi pasangan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang stabil dan bahagia.