Sumber foto: iStock

Perceraian Meningkat Tajam di Indonesia, Konflik Mertua-Menantu Jadi Sorotan: Ini Solusi Menag

Tanggal: 30 Apr 2025 09:12 wib.
Fenomena perceraian yang semakin tinggi di Indonesia belakangan ini memicu keprihatinan berbagai pihak, termasuk pemerintah. Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, menyoroti bahwa negara tidak bisa hanya hadir saat pasangan mengucapkan akad nikah, tetapi juga harus terlibat aktif dalam menjaga kelangsungan rumah tangga. Menurutnya, banyaknya perceraian bukan hanya mencerminkan masalah pribadi, melainkan juga mengancam stabilitas sosial dan menjadi sumber kemiskinan baru.

Berdasarkan pengamatan Kementerian Agama, angka perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini mendorong Nasaruddin mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan menambahkan bab khusus mengenai pelestarian pernikahan. Ia meyakini bahwa keberlangsungan rumah tangga harus dilindungi oleh sistem hukum dan kebijakan negara.

“Perceraian sering kali menjadi awal dari kemiskinan baru. Yang pertama kali jadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Maka dari itu, negara tidak cukup hanya hadir untuk mengesahkan pernikahan. Harus ada peran aktif dalam menjaga dan memperkuatnya,” ujar Nasaruddin melalui pernyataan resmi Kementerian Agama.

Bagi Menag, pelestarian rumah tangga bukan sekadar urusan pribadi antara suami dan istri, tetapi merupakan investasi jangka panjang bangsa dalam menciptakan keluarga yang sehat dan sejahtera. Ia juga menekankan pentingnya pendekatan mediasi sebagai strategi utama untuk mencegah perceraian sejak dini.

Dalam usulannya, Nasaruddin menekankan pentingnya peran BP4 (Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan) sebagai lembaga yang tepat untuk mengedepankan mediasi dan penyuluhan. Bahkan, ia mengusulkan agar BP4 diperkuat statusnya melalui undang-undang baru tentang ketahanan keluarga, agar memiliki kewenangan yang lebih luas dan efektif.

Tak tanggung-tanggung, Menag mengusulkan 11 strategi konkret mediasi yang bisa dijalankan oleh BP4, mulai dari masa sebelum pernikahan hingga setelah perceraian. Strategi ini tidak hanya untuk pasangan suami-istri, tetapi juga menyasar dinamika konflik yang kerap terjadi dalam keluarga besar seperti antara menantu dan mertua.

Berikut adalah strategi mediasi lengkap yang diusulkan:



Memperluas layanan mediasi kepada calon pasangan menikah dan individu dewasa yang belum menikah.


Mendorong pasangan muda agar segera menikah secara sah.


Menjadi penghubung jodoh atau “mak comblang” secara profesional.


Memberikan pendampingan dan mediasi pascaperceraian agar anak-anak tidak menjadi korban.


Menjadi penengah dalam konflik yang kerap terjadi antara menantu dan mertua.


Bekerja sama dengan pengadilan agama agar tidak mudah memutus perkara perceraian.


Memfasilitasi proses isbat nikah bagi pasangan nikah siri.


Menyelesaikan hambatan pernikahan yang timbul di Kantor Urusan Agama (KUA).


Melakukan pendekatan terhadap individu yang menunjukkan gejala perselingkuhan.


Menginisiasi program pernikahan massal untuk membantu masyarakat kurang mampu.


Berkoordinasi dengan lembaga pemerintah yang mengurus program gizi dan pendidikan demi kesejahteraan anak-anak dari keluarga rentan.



Strategi-strategi ini menunjukkan bahwa upaya pelestarian rumah tangga harus dilakukan secara komprehensif dan sistematis. Tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi juga menyangkut edukasi sosial, pendampingan psikologis, dan penanganan konflik internal keluarga.

Menag juga mengusulkan agar peran BP4 diakui secara resmi oleh Mahkamah Agung melalui surat keputusan, serta didorong untuk memperluas jangkauannya hingga ke tingkat kabupaten dan kota. Tujuannya adalah agar mediasi dan konseling perkawinan bisa lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.

Dukungan terhadap langkah ini juga datang dari jajaran internal Kementerian Agama. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam), Abu Rokhmad, menekankan bahwa persoalan rumah tangga dewasa ini semakin kompleks. Ia menyebut bahwa rendahnya literasi pernikahan, tingginya angka perceraian, hingga dampak negatif era digital menjadi tantangan besar dalam membina keluarga yang sehat.

“Kita tidak bisa menutup mata bahwa masyarakat saat ini menghadapi tantangan baru dalam berumah tangga. Dari budaya digital yang rentan menumbuhkan egoisme hingga minimnya pemahaman tentang komitmen dalam pernikahan, semua ini perlu kita tangani secara serius dan menyeluruh,” jelas Abu Rokhmad.

Ia menegaskan komitmen Ditjen Bimas Islam untuk terus mendukung program-program BP4 dan memperkuat kelembagaan agar lebih siap dalam menjalankan misi mediasi dan pembinaan perkawinan.

Dengan berbagai upaya ini, pemerintah berharap angka perceraian di Indonesia bisa ditekan. Tak hanya itu, kualitas rumah tangga juga diharapkan meningkat, menciptakan generasi yang lebih sehat secara mental dan sosial. Karena pada akhirnya, keluarga adalah fondasi utama dari kemajuan suatu bangsa, dan pelestariannya adalah tanggung jawab bersama.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved