Negara-Negara dengan Tingkat Perceraian Tinggi, : Menganalisis Faktor Pemicunya
Tanggal: 26 Jul 2025 09:09 wib.
Perceraian adalah sebuah realitas sosial yang kompleks, dengan dampak mendalam bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Data global menunjukkan bahwa di beberapa negara, angka perceraian berada pada tingkat yang sangat tinggi, jauh melampaui rata-rata. Fenomena ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang sedang berlangsung. Memahami negara-negara dengan tingkat perceraian tertinggi bisa memberi kita gambaran tentang faktor-faktor apa saja yang berkontribusi pada keretakan rumah tangga.
Siapa Saja yang Ada di Peringkat Atas?
Ketika berbicara tentang tingkat perceraian, ada beberapa negara yang secara konsisten muncul di daftar teratas berdasarkan rasio perceraian per 1.000 penduduk. Data dari berbagai lembaga menunjukkan negara-negara seperti Maladewa, Kazakhstan, Rusia, Belarus, dan Moldova seringkali menduduki posisi teratas. Misalnya, Maladewa dilaporkan memiliki tingkat perceraian yang sangat tinggi, mencapai lebih dari 5 perceraian per 1.000 penduduk. Sementara itu, negara-negara Eropa Timur seperti Belarus, Rusia, dan Moldova juga menunjukkan angka yang signifikan, seringkali di atas 3,5 per 1.000 penduduk.
Angka-angka ini bukan sekadar kebetulan. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi tingginya angka perceraian di negara-negara tersebut, dan seringkali faktor-faktor ini saling berkaitan membentuk lingkaran masalah yang kompleks.
Faktor Ekonomi: Beban yang Memicu Konflik
Salah satu pemicu utama tingginya angka perceraian di banyak negara adalah tekanan ekonomi. Di negara-negara dengan kondisi ekonomi yang sulit atau tingkat pengangguran tinggi, masalah keuangan seringkali menjadi sumber konflik tak berujung dalam rumah tangga. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, utang yang menumpuk, atau kesulitan mencari pekerjaan bisa menciptakan stres yang luar biasa, mengikis kesabaran, dan memicu pertengkaran.
Di sisi lain, di negara-negara yang lebih maju secara ekonomi, kemandirian finansial, terutama bagi perempuan, juga bisa menjadi faktor. Ketika seseorang merasa mampu menopang hidup sendiri tanpa bergantung pada pasangan, keputusan untuk mengakhiri pernikahan yang tidak bahagia bisa menjadi lebih mudah diambil. Artinya, ekonomi bisa memicu perceraian baik karena kekurangan maupun karena adanya kemandirian yang lebih besar.
Pergeseran Nilai Sosial dan Budaya
Masyarakat terus berkembang, dan begitu pula nilai-nilai sosial serta budaya terkait pernikahan. Di banyak negara, stigma terhadap perceraian telah jauh berkurang dibandingkan beberapa dekade lalu. Dulu, perceraian dianggap tabu dan memalukan, sehingga banyak pasangan memilih bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia demi menjaga reputasi sosial. Kini, pandangan tersebut mulai bergeser. Masyarakat menjadi lebih menerima perceraian sebagai solusi ketika hubungan tidak lagi bisa dipertahankan.
Selain itu, meningkatnya pendidikan dan kemandirian perempuan di banyak negara juga berkontribusi pada perubahan ini. Perempuan kini memiliki pilihan karier dan finansial yang lebih baik, memberi mereka keberanian dan kemampuan untuk keluar dari pernikahan yang tidak sehat atau abusif. Modernisasi dan paparan terhadap nilai-nilai global juga bisa membentuk ekspektasi yang lebih tinggi terhadap kebahagiaan personal dalam pernikahan, bukan sekadar sebagai kewajiban sosial.
Sistem Hukum yang Memudahkan Perceraian
Aspek sistem hukum juga punya pengaruh besar. Di beberapa negara, proses pengajuan perceraian relatif mudah, cepat, dan tidak terlalu mahal. Ini bisa menjadi faktor yang memungkinkan lebih banyak pasangan untuk bercerai. Misalnya, beberapa negara menerapkan sistem perceraian tanpa perlu pembuktian kesalahan (no-fault divorce), yang menghilangkan kebutuhan untuk saling menyalahkan dan mempercepat proses hukum.
Sebaliknya, di negara-negara dengan proses perceraian yang rumit, mahal, atau membutuhkan alasan yang sangat spesifik, angka perceraian cenderung lebih rendah, bukan berarti pernikahannya lebih bahagia, tapi mungkin lebih sulit untuk disudahi secara legal. Kemudahan akses terhadap prosedur perceraian dapat memfasilitasi keputusan untuk berpisah bagi pasangan yang sudah tidak menemukan jalan tengah.
Komunikasi, Ekspektasi, dan Masalah Internal Lainnya
Di luar faktor-faktor makro, masalah-masalah interpersonal tetap menjadi akar dari perceraian. Kurangnya komunikasi efektif, ketidaksetiaan, kekerasan dalam rumah tangga, perbedaan ekspektasi dalam pernikahan, serta campur tangan pihak ketiga (seperti keluarga besar) adalah masalah klasik yang terus menjadi penyebab utama keretakan rumah tangga di mana pun.
Di negara-negara dengan tingkat perceraian tinggi, mungkin saja masalah-masalah internal ini diperparah oleh tekanan eksternal seperti kesulitan ekonomi atau perubahan sosial yang cepat, membuat pasangan lebih rentan terhadap perpecahan. Pernikahan yang dimulai di usia terlalu muda juga sering dikaitkan dengan risiko perceraian yang lebih tinggi karena kematangan emosional yang belum optimal.