Mengapa Banyak Pernikahan di Indonesia Gagal? Ini 13 Alasan Mengejutkan di Balik Perceraian yang Jarang Dibahas!
Tanggal: 30 Apr 2025 08:57 wib.
Fenomena tingginya angka perceraian di Indonesia kembali menjadi perhatian serius, tak hanya bagi masyarakat luas, tetapi juga pemerintah. Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyampaikan kekhawatiran terhadap meningkatnya kasus perceraian yang terjadi dari tahun ke tahun. Sebagai respons, ia mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan menambahkan bab baru yang berfokus pada pelestarian dan perlindungan terhadap institusi pernikahan.
Menurut Menag, negara seharusnya tidak hanya berperan saat sepasang kekasih menikah secara sah, tetapi juga wajib ikut serta dalam menjaga keutuhan dan kesehatan hubungan rumah tangga setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan bukan hanya tentang perayaan awal, tetapi juga tentang komitmen jangka panjang yang membutuhkan dukungan berkelanjutan.
Perceraian Tak Selalu Karena Selingkuh: Fakta Menarik dari Studi Internasional
Salah satu asumsi yang sering dipercaya banyak orang adalah bahwa perselingkuhan menjadi penyebab utama perceraian. Namun, data yang dikutip dari laporan Forbes Advisor justru menunjukkan sebaliknya. Dalam penelitian yang melibatkan pasangan yang bercerai, terungkap bahwa faktor terbesar penyebab keretakan rumah tangga adalah kurangnya dukungan dari keluarga, bukan karena adanya pihak ketiga.
Hal ini tentu menjadi temuan yang mengejutkan. Dukungan emosional dan sosial dari keluarga besar ternyata memiliki pengaruh besar terhadap ketahanan hubungan pernikahan. Tanpa dukungan tersebut, banyak pasangan merasa terisolasi, tidak dimengerti, dan pada akhirnya memilih berpisah.
Inilah 13 Penyebab Perceraian yang Paling Umum
Penelitian tersebut merinci 13 alasan utama mengapa pasangan memilih bercerai, yang bisa menjadi cerminan penting bagi masyarakat Indonesia saat membina rumah tangga. Berikut daftar lengkapnya:
Kurangnya dukungan dari keluarga (43%)
Ketiadaan dukungan dari orang tua, mertua, atau saudara dapat menciptakan tekanan psikologis yang berat dalam hubungan.
Perselingkuhan atau hubungan di luar pernikahan (34%)
Meski bukan faktor utama, infidelity tetap menjadi pemicu perceraian yang signifikan.
Ketidakcocokan (31%)
Perbedaan karakter atau nilai hidup yang tidak terjembatani sering menjadi alasan putusnya hubungan.
Kurangnya kedekatan emosional (31%)
Pasangan merasa tidak lagi terhubung secara batin, yang mengarah pada jarak emosional dan fisik.
Terlalu banyak konflik atau pertengkaran (31%)
Ketidaksepakatan yang terus-menerus dapat menghancurkan rasa hormat dan kepercayaan dalam hubungan.
Stres keuangan (24%)
Masalah ekonomi menjadi beban besar yang bisa memicu pertengkaran dan kelelahan mental dalam rumah tangga.
Kurangnya komitmen (23%)
Salah satu atau kedua pihak tidak memiliki keseriusan penuh dalam menjaga hubungan jangka panjang.
Perbedaan dalam pola asuh anak (20%)
Ketidaksepakatan dalam cara membesarkan anak dapat memunculkan konflik mendalam.
Menikah di usia terlalu muda (10%)
Pasangan muda sering belum memiliki kesiapan mental, emosional, dan finansial dalam menjalani pernikahan.
Perbedaan nilai dan moral (6%)
Konflik ideologis atau prinsip dasar kehidupan bisa membuat hubungan menjadi tidak harmonis.
Penyalahgunaan zat (3%)
Masalah kecanduan, seperti alkohol atau narkoba, menciptakan ketidakstabilan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga (3%)
Baik kekerasan fisik maupun emosional adalah alasan kuat dan sah untuk berpisah demi keselamatan diri.
Perbedaan gaya hidup (1%)
Misalnya, salah satu pasangan lebih suka bersosialisasi sementara yang lain lebih menyukai kehidupan tenang di rumah.
Urgensi Regulasi Pelestarian Pernikahan
Melihat kompleksitas penyebab perceraian tersebut, usulan Menag untuk menghadirkan bab khusus dalam undang-undang perkawinan patut dipertimbangkan secara serius. Regulasi tersebut diharapkan dapat mencakup program-program edukatif tentang konseling pranikah, bimbingan rumah tangga, mediasi konflik, dan akses pendampingan psikologis, terutama bagi pasangan muda.
Lebih dari sekadar formalitas, kehadiran negara bisa menjadi bentuk tanggung jawab dalam menciptakan masyarakat yang sehat secara sosial dan psikologis. Ketika keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat berada dalam kondisi yang harmonis, maka stabilitas sosial dan kesejahteraan bangsa pun ikut meningkat.
Edukasi dan Kesadaran Adalah Kunci
Banyak dari alasan perceraian di atas sebenarnya bisa dicegah apabila pasangan memiliki pemahaman yang matang sebelum menikah, serta mendapatkan edukasi tentang bagaimana membina rumah tangga yang sehat. Dukungan dari pihak keluarga, keterbukaan dalam komunikasi, serta kesiapan menghadapi tantangan hidup bersama adalah fondasi yang perlu dibangun sebelum mengucap janji suci di pelaminan.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita juga memiliki peran untuk membangun budaya saling mendukung, tidak ikut campur secara negatif, dan memberi ruang tumbuh bagi pasangan muda untuk belajar menjadi suami-istri yang tangguh.
Penutup: Saatnya Revisi Undang-Undang Jadi Solusi Nyata?
Tingginya angka perceraian bukan hanya persoalan pribadi pasangan suami-istri, tetapi menjadi persoalan sosial yang perlu ditangani bersama. Usulan revisi undang-undang oleh Menteri Agama menunjukkan bahwa negara kini menyadari pentingnya pelestarian pernikahan sebagai pilar sosial yang fundamental.
Penting bagi kita semua untuk meninjau kembali cara pandang terhadap pernikahan, tidak hanya sebagai urusan cinta semata, tetapi juga sebagai komitmen sosial, emosional, dan spiritual yang butuh kerja sama berbagai pihak—termasuk negara, keluarga, dan masyarakat.