Definisi Cinta Menurut "Standar TikTok" dan Teori Erich Fromm

Tanggal: 1 Sep 2025 14:21 wib.
Pernahkah kamu merasa bingung, cinta itu sebenarnya yang kayak gimana, sih?

Apakah cinta berarti harus punya pasangan yang tinggi, six pack, berpenghasilan dua digit, dan bisa kasih kado kejutan setiap bulan—seperti yang sering viral di FYP TikTok?

Atau… cinta justru sesederhana ketika kamu dan dia bisa duduk bareng, ngobrol jujur soal hidup, sambil makan mie instan jam 2 pagi?

Di era media sosial seperti sekarang, definisi cinta seringkali jadi kabur. TikTok, Instagram, dan platform lainnya membentuk "standar" baru tentang bagaimana hubungan seharusnya terlihat. Sayangnya, standar ini sering kali penuh ilusi. Lalu, bagaimana kita bisa memaknai cinta secara lebih sehat dan dewasa? Mari kita bahas bersama, sekaligus melihat pandangan Erich Fromm, filsuf sekaligus psikoanalis, tentang seni mencintai.

1. Fenomena “Standar TikTok”: Cinta yang Tampak Sempurna

TikTok kini bukan sekadar tempat hiburan. Aplikasi ini telah menjadi “panduan” gaya hidup, termasuk soal percintaan.
Di FYP, kita sering melihat pasangan goals yang selalu tampil serasi, travelling ke destinasi mewah, makan di restoran mahal, dan saling memberi hadiah romantis. Konten-konten ini akhirnya membentuk apa yang bisa kita sebut sebagai “Standar TikTok” — standar visual, materi, dan romantisasi hubungan yang begitu mulus, terkonsep, bahkan kadang terasa terlalu sempurna.

Masalahnya, standar ini memicu comparison trap. Kita mulai membandingkan hubungan kita dengan pasangan lain yang terlihat ideal di layar. Padahal, apa yang kita lihat hanyalah highlight, bukan keseluruhan cerita.
Di balik senyum manis dan caption romantis, kita tidak tahu ada konflik, kompromi, atau bahkan perpisahan yang mungkin terjadi.

2. Cinta Menurut Erich Fromm: Sebuah “Seni”

Berbeda dengan gambaran cinta di TikTok, Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving menjelaskan bahwa cinta bukan sekadar perasaan yang datang tiba-tiba.
Cinta adalah seni.
Seperti seni lainnya, ia butuh pengetahuan, kesadaran, usaha, dan kedewasaan.

Menurut Fromm, mencintai bukanlah proses “jatuh” (falling in love) yang pasif, melainkan tindakan aktif untuk memilih, memelihara, dan menumbuhkan hubungan. Dengan kata lain, cinta adalah keputusan sadar untuk hadir, peduli, dan bertumbuh bersama orang lain.

3. Antara Cinta dan Budaya Konsumsi

Dunia digital mengubah cara kita memandang hubungan.
Kini, cinta sering diperlakukan layaknya produk: bisa dipilih, dibandingkan, dibuang, atau diganti.
Dating apps, media sosial, dan algoritma membentuk pola pikir bahwa kita selalu punya “opsi” yang lebih baik. Ini membuat banyak orang mudah berpindah hati, karena selalu merasa ada pasangan yang lebih menarik di luar sana.

Fromm menolak pandangan ini. Menurutnya, cinta sejati tidak bisa diukur dengan fitur, status, atau materi.
Cinta adalah ekspresi aktif dari kepribadian yang matang, bukan sekadar respons terhadap penampilan fisik atau daya tarik sosial.

4. Empat Pilar Cinta Dewasa Menurut Fromm

Dalam bukunya, Fromm menjelaskan ada empat elemen penting dalam cinta yang sehat dan otentik. Ini berbeda jauh dari standar TikTok yang fokus pada visual dan materi.

a. Perhatian (Care)

Cinta bukan sekadar berkata “I love you” atau memberikan hadiah mahal.
Perhatian sejati muncul ketika kamu benar-benar peduli pada kebahagiaan pasanganmu.
Contohnya sederhana: menanyakan “Kamu capek nggak hari ini?” dan mendengarkan jawabannya dengan sungguh-sungguh.

b. Tanggung Jawab (Responsibility)

Tanggung jawab di sini bukan berarti posesif atau mengatur hidup pasangan.
Sebaliknya, ini adalah kesediaan untuk hadir dalam suka dan duka, bertumbuh bersama, dan tidak lari saat keadaan sulit.

c. Rasa Hormat (Respect)

Mencintai bukan berarti ingin mengubah pasangan menjadi versi ideal menurut kita.
Rasa hormat berarti memberikan ruang bagi mereka untuk tetap menjadi dirinya sendiri, lengkap dengan impian, ketakutan, dan batasan personal.

d. Pengetahuan (Knowledge)

Cinta juga berarti berusaha mengenal pasangan secara mendalam.
Bukan hanya tentang makanan favorit atau playlist Spotify-nya, tapi juga memahami cara mereka mengelola luka masa lalu, meredakan kecemasan, dan memaknai hidup.
Pengetahuan ini tidak bisa dibangun hanya dari stalking media sosial, melainkan dari waktu, perhatian, dan komunikasi yang jujur.

5. Cinta di Era Media Sosial: Antara Realita dan Ilusi

Hari ini, kita hidup di dunia yang penuh filter, swipe, dan algoritma.
Media sosial membuat cinta terlihat indah dan mudah, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.
Pertanyaannya, apakah kita mau mengikuti standar cinta yang viral atau memilih cinta yang otentik dan dewasa?

Cinta tidak harus Instagramable. Tidak perlu selalu viral. Kadang, cinta justru terasa pada hal-hal kecil:


Obrolan tengah malam yang jujur
Dukungan saat sedang jatuh
Perasaan aman saat bersamanya
Kebersamaan tanpa perlu banyak kata


Cinta sejati, kata Fromm, bukan tentang mencari pasangan sempurna, melainkan belajar mencintai dengan cara yang matang.

Cinta di era TikTok penuh distraksi. Ada standar-standar ilusi yang membuat kita sering merasa kurang, insecure, atau bahkan salah memilih pasangan.
Tapi kalau mengikuti teori Fromm, mencintai adalah bentuk keberanian: keberanian untuk hadir, untuk jujur, dan untuk tumbuh bersama.

Cinta bukan tentang hadiah mahal, konten aesthetic, atau validasi publik.Cinta adalah soal perhatian, tanggung jawab, penghormatan, dan pengetahuan.
Dan mungkin, di tengah dunia yang serba cepat ini, mencintai secara tulus adalah bentuk perlawanan paling jujur.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved