Universitas di AS Membatalkan Pidato Wisudawan Muslim
Tanggal: 19 Apr 2024 11:28 wib.
Universitas Southern California telah membatalkan rencana untuk pidato wisuda oleh seorang mahasiswa Muslim yang berprestasi setelah kelompok pro-Israel mengkritik pemilihan tersebut, dan universitas tersebut dilaporkan menerima ancaman melalui email, telepon, dan surat.
Asna Tabassum, yang telah diserang secara online karena dianggap "anti-Zionis", telah dipilih sebagai wisudawan terbaik kelasnya — sebuah peran kehormatan yang biasanya memberikan pidato di hadapan hingga 65.000 orang.
Namun pada hari Senin, provost universitas, Andrew Guzman, mengumumkan bahwa upacara tanggal 10 Mei akan berlangsung tanpa pidato dari mahasiswa terbaik mereka. Ini adalah kali pertama universitas tersebut melarang seorang wisudawan terbaik untuk berbicara.
"Intensitas perasaan, yang dipicu baik oleh media sosial maupun konflik terus-menerus di Timur Tengah, telah tumbuh untuk melibatkan banyak suara di luar USC dan telah meningkat menjadi titik menciptakan risiko substansi terkait keamanan," kata Guzman dalam sebuah pernyataan.
Tabassum, yang terpilih menjadi wisudawan terbaik karena IPK-nya lebih besar dari 3.980, mengkritik keputusan tersebut, yang menurutnya adalah hasil dari universitas "menyerah pada kampanye kebencian yang dimaksudkan untuk membungkam suaraku."
"Meskipun ini seharusnya menjadi saat perayaan bagi keluarga, teman, profesor, dan teman sekelas saya, suara anti-Muslim dan anti-Palestina telah menjadikan saya sebagai sasaran kampanye kebencian rasialis karena kepercayaan saya yang teguh dalam hak asasi manusia untuk semua," ujarnya dalam sebuah pernyataan.
"Saya tidak heran oleh orang-orang yang mencoba menyebarkan kebencian. Saya kaget bahwa universitas saya sendiri — rumah saya selama empat tahun — telah meninggalkan saya," tambahnya.
Penyensoran pidato Asna Tabassum ini menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan berbicara dan keanekaragaman pandangan dalam lingkungan universitas AS. Tindakan universitas tersebut untuk menghalangi suara seorang mahasiswa yang telah meraih prestasi akademis yang luar biasa menimbulkan kontroversi dan menimbulkan diskusi tentang perlindungan hak asasi manusia di lingkungan akademis.
Kasus ini juga menimbulkan perdebatan tentang campur tangan politik dan tekanan eksternal dalam pengambilan keputusan universitas. Kritik dari kelompok pro-Israel menunjukkan bagaimana ideologi politik dapat memengaruhi keputusan akademis dan memicu ketegangan di antara anggota komunitas universitas.
Selain itu, pembatalan pidato Tabassum juga mencerminkan isu lebih luas tentang Islamofobia dan ketidakadilan rasial di AS. Perlakuan tidak adil terhadap mahasiswa Muslim yang berhasil dalam lingkungan akademis menimbulkan keprihatinan akan diskriminasi rasial dan agama di dunia pendidikan tinggi AS.
Tindakan universitas untuk menanggapi ancaman keamanan juga menyoroti tantangan yang dihadapi institusi pendidikan dalam menanggapi tekanan dan konflik di lingkungan sosial-politik yang kompleks. Keputusan untuk membatalkan pidato Tabassum menunjukkan bagaimana keamanan dan stabilitas universitas dapat terancam oleh konflik politik yang lebih besar.
Dengan demikian, peristiwa ini membuka ruang untuk refleksi mengenai kebebasan akademis, hak asasi manusia, dan pembatasan ideologi politik dalam lingkungan universitas. Kemampuan mahasiswa untuk menyuarakan pandangan mereka tanpa takut akan diskriminasi atau penyensoran merupakan aspek penting dari upaya memperkuat kebebasan berpendapat dan pluralisme di perguruan tinggi.
Sebagai orang-orang Indonesia yang peduli terhadap hak asasi manusia, kita juga bisa mengambil pembelajaran dari kasus ini untuk terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan di lingkungan pendidikan. Dengan memperkuat kesadaran akan isu-isu diskriminasi dan intoleransi, kita dapat berperan dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung bagi semua mahasiswa.
Terkait hal ini, diperlukan pula langkah-langkah konkret dari pihak universitas untuk melindungi kebebasan berpendapat dan mencegah diskriminasi terhadap mahasiswa berdasarkan agama atau keyakinan politik mereka. Pelatihan kesadaran multikultural dan kebijakan anti-diskriminasi dapat memainkan peran penting dalam mencegah kasus-kasus pelecehan atau penindasan terhadap mahasiswa dari latar belakang yang berbeda.
Dalam konteks global saat ini, perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat menjadi semakin penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan beradab. Melalui pembahasan dan tindakan nyata, kita dapat mendorong perubahan positif dalam hal perlindungan hak asasi manusia dan keadilan di berbagai lini kehidupan, termasuk dalam ranah pendidikan tinggi.