Tandanya Kiamat Semakin Dekat, 5 Kali Lipat Volume Air Tawar Lenyap dari Bumi
Tanggal: 19 Nov 2024 09:24 wib.
Sebuah kelompok peneliti telah menemukan bukti bahwa "kiamat" iklim Bumi semakin dekat. Tanda krisis kehidupan di Bumi terlihat melalui pengamatan satelit milik NASA dan Jerman. Melalui laporan penelitian yang dipublikasikan di Surveys in Geophysics, sejumlah peneliti telah mengamati anjloknya persediaan air bersih di Bumi sejak Mei 2014. Data yang mereka peroleh menjadi indikasi bahwa Bumi sedang memasuki "era baru" yang lebih kering.
Pengamatan satelit menunjukkan bahwa rata-rata volume air tawar yang tersimpan di daratan sepanjang 2015-2023 mengalami penyusutan hingga 1.200 kubik kilometer dibandingkan dengan periode 2002-2014. Data ini mencakup air tawar yang terlihat di permukaan seperti danau dan sungai, serta air di bawah tanah.
Ahli hidrologi NASA, Matthew Rodell, menyatakan bahwa volume air tawar yang "lenyap" dari Bumi setara dengan 5 kali lipat volume air di Danau Toba. Penggunaan sistem irigasi dan pengairan yang mengandalkan air tanah, bersamaan dengan iklim kering, berdampak pada penurunan suplai air yang tidak mampu tergantikan oleh hujan dan salju yang mencair.
Berdasarkan laporan PBB yang diterbitkan pada tahun 2024, penurunan volume air tawar berpotensi menyebabkan kelaparan, konflik kekerasan, kemiskinan, serta peningkatan penyakit akibat konsumsi air dari sumber yang terkontaminasi.
Data tentang "lenyapnya" air tawar di Bumi dikumpulkan melalui observasi menggunakan satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) yang dikelola bersama oleh German Aerospace Center, German Research Centre for Geosciences, dan NASA. GRACE mengukur fluktuasi gravitasi Bumi setiap bulan dengan memantau perubahan massa air di atas dan di bawah permukaan Bumi.
Penurunan volume air tawar dimulai dengan kekeringan luas di wilayah Brasil bagian utara dan tengah, diikuti oleh kekeringan di wilayah Australasia, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, dan Afrika. Hal ini terjadi pada saat yang sama dengan kenaikan suhu air laut di wilayah Pasifik antara tahun 2014-2016. Kenaikan suhu tersebut menyebabkan peristiwa El Nino paling berdampak sejak 1950-an dan mengubah pola pergerakan angin, cuaca, dan hujan di seluruh dunia.
Setelah dampak "kering" dari El Nino mulai berkurang, volume air tawar secara global tidak pulih. Para peneliti memperkirakan penyusutan persediaan air secara ekstrem ini disebabkan oleh "kiamat" pemanasan global.
Menurut Michael Bosilovich dari NASA, pemanasan global menyebabkan atmosfer menahan uap air lebih banyak dan lebih lama, sehingga menimbulkan curah hujan ekstrem. Hal ini membuat jarak antara hujan makin panjang tetapi dengan volume yang lebih tinggi. Akibatnya, tanah menjadi mengering dan lebih padat sehingga kemampuannya menyerap air hujan turun.
Bosilovich juga menyatakan bahwa suhu yang lebih hangat meningkatkan penguapan air dari permukaan dan kemampuan atmosfer "menahan" air, sehingga frekuensi dan intensitas cuaca kering meningkat.
Kondisi ini memperparah masalah kekurangan air di berbagai wilayah di seluruh dunia. Penting untuk memperhatikan perubahan ini dan melakukan langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi dampaknya, terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya air.