Tanda Kiamat: Apa yang Terjadi dengan Badai Atlantik pada 2024?
Tanggal: 24 Nov 2024 10:14 wib.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan oleh lembaga penelitian Climate Central pada Rabu (20/11/2024) menarik perhatian publik. Studi tersebut mengungkap bahwa pemanasan suhu laut yang disebabkan oleh manusia telah meningkatkan kecepatan angin maksimum pada setiap badai Atlantik pada tahun 2024.
Menurut studi tersebut, sebanyak 11 badai Atlantik pada tahun 2024 mengalami peningkatan kecepatan angin sebesar 9 hingga 28 mil per jam (14-45 kpj) selama rekor kehangatan laut musim badai 2024. Hal ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim telah berkaitan erat dengan intensitas badai yang semakin meningkat.
Daniel Gilford, salah satu penulis studi tersebut, menyatakan bahwa emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca telah memengaruhi suhu permukaan laut di seluruh dunia. Dampaknya sangat terasa di Teluk Meksiko, di mana emisi tersebut membuat suhu permukaan laut sekitar 2,5 derajat Fahrenheit (1,4 derajat Celsius) lebih panas daripada kondisi normal.
Dampak kenaikan suhu laut ini terbukti memicu badai yang lebih kuat dan lebih intensif. Badai seperti Debby dan Oscar, yang semula hanya badai tropis, berubah menjadi badai topan yang dahsyat akibat peningkatan suhu laut. Hal serupa juga terjadi pada badai lainnya seperti Milton dan Beryl, yang meningkat kategori menjadi Kategori 5, serta badai Helene yang naik kategori menjadi Kategori 4.
Setiap peningkatan kategori badai ini sesuai dengan peningkatan sekitar empat kali lipat dalam potensi kerusakan. Hal ini membuat dampak dari badai tersebut semakin merusak dan mengancam kehidupan manusia.
Tidak hanya itu, intensitas badai terus meningkat seiring dengan pemanasan global. Sebuah pendekatan analitis baru telah memungkinkan para peneliti untuk melacak jalur badai tertentu. Pada titik puncak intensifikasi Badai Milton sebelum pendaratan, perubahan iklim membuat suhu permukaan laut yang hangat 100 kali lebih mungkin terjadi daripada biasanya, dan meningkatkan kecepatan angin maksimum hingga 24 mph.
Studi tersebut juga menemukan bahwa sebanyak 84% badai selama periode 2019 hingga 2023 diperkuat secara signifikan oleh pemanasan laut yang disebabkan oleh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya tahun 2024, tetapi peningkatan intensitas badai telah menjadi tren yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Lebih jauh lagi, para peneliti menyatakan bahwa metode yang digunakan dalam studi ini dapat diterapkan pada siklon tropis secara global. Hal ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim terhadap intensitas badai tidak hanya terjadi di Cekungan Atlantik, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Ahli iklim Friederike Otto dari Imperial College London, yang juga memimpin World Weather Attribution, memberikan apresiasi terhadap hasil studi ini. Ia menilai bahwa metodologi yang digunakan oleh tim peneliti dalam melampaui studi sebelumnya yang terutama menghubungkan perubahan iklim dengan curah hujan yang terkait dengan badai.
Namun, Otto juga memperingatkan bahwa badai yang dipicu oleh iklim ini terjadi ketika suhu dunia hanya 1,3 derajat Celsius di atas suhu pra-industri, dan dampaknya kemungkinan akan semakin buruk saat suhu naik melampaui 1,5 derajat Celsius. Hal ini menjadi peringatan serius bahwa perubahan iklim bukanlah isu yang bisa diabaikan begitu saja. Dengan melihat tren peningkatan suhu global, diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
Studi terbaru ini memberikan gambaran yang lebih jelas terkait dampak perubahan iklim terhadap intensitas badai Atlantik pada tahun 2024. Melalui analisis yang mendalam, para peneliti dapat membuktikan bahwa korelasi antara pemanasan laut dan kekuatan badai semakin tampak nyata. Dengan demikian, upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim perlu terus ditingkatkan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh badai-badai yang semakinganas ini.