Sumbu Bumi Bergeser Akibat Kehilangan Air: Fakta Ilmiah yang Bisa Ganggu GPS dan Prediksi Iklim Dunia
Tanggal: 7 Mei 2025 20:47 wib.
Tampang.com | Dalam temuan ilmiah yang mengejutkan, para peneliti mengungkap bahwa Bumi telah mengalami pergeseran signifikan pada sumbu rotasinya selama dua dekade terakhir. Studi terbaru ini menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2000-an, rotasi planet kita mengalami perubahan mencolok akibat hilangnya air dalam jumlah besar dari daratan, yang kemudian mengalir ke lautan.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Science ini menyebut bahwa antara tahun 2000 hingga 2002, dunia kehilangan lebih dari 1.600 gigaton air tanah. Jumlah ini sangat besar—setara dengan 160 kali volume air di Danau Toba. Perubahan distribusi massa air ini ternyata memiliki dampak yang jauh lebih dalam daripada yang selama ini diduga oleh ilmuwan.
Dampaknya bukan hanya pada lingkungan lokal, melainkan hingga ke level global. Pergeseran sumbu rotasi Bumi yang tercatat sekitar 45 cm ini sebelumnya tidak diasosiasikan dengan faktor-faktor yang lazim seperti pencairan es di kutub, aktivitas inti Bumi, atau efek rebound glasial. Kini, faktor kehilangan air dari daratan resmi menjadi pemain baru dalam dinamika geofisika planet.
Salah satu penulis studi, Profesor Clark Wilson, seorang ahli geofisika dari University of Texas di Austin, menjelaskan bahwa perubahan besar dalam distribusi air daratan ke lautan secara langsung memengaruhi momen inersia Bumi—konsep fisika yang menentukan bagaimana sebuah benda berputar. Ketika air tanah dalam jumlah besar dipindahkan ke laut, pusat massa planet juga berubah, yang pada akhirnya menyebabkan poros rotasi ikut bergeser.
"Jika Anda mengambil sejumlah besar air dari daratan dan memindahkannya ke lautan, maka Anda sedang meredistribusi massa di seluruh planet," ujar Wilson dalam kutipannya di Science Focus (23 April 2025). "Itulah yang menyebabkan sumbu rotasi Bumi berubah."
Penelitian ini dipimpin oleh Prof Ki-Weon Seo dari Seoul National University. Ia dan timnya menggunakan pendekatan kombinasi data satelit radar dan model kelembaban tanah untuk merekonstruksi pola perubahan air di permukaan Bumi sejak akhir abad ke-20. Dengan metode ini, mereka dapat melihat secara historis bagaimana air tanah di berbagai belahan dunia mengalami penurunan dan bagaimana hal itu berkorelasi langsung dengan pergeseran sumbu Bumi.
Data menunjukkan bahwa periode 2000–2002 adalah saat krusial, ketika kelembaban tanah menurun drastis. Penurunan ini juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kenaikan permukaan laut global, dengan laju sekitar 1,95 milimeter per tahun. Angka ini bahkan lebih tinggi daripada kontribusi dari pencairan es Greenland, yang tercatat sekitar 0,8 milimeter per tahun.
Fenomena kekeringan ekstrem tidak berhenti di awal 2000-an. Antara tahun 2003 hingga 2016, dunia kembali kehilangan 1.000 gigaton air tanah. Lebih parahnya lagi, hingga tahun 2021, kelembaban tanah global belum menunjukkan pemulihan ke tingkat normal. Ini mengindikasikan bahwa kita tengah menghadapi pergeseran jangka panjang dalam penyimpanan air daratan, yang tidak hanya berdampak pada sumber daya air tapi juga stabilitas iklim global.
Wilayah-wilayah yang terdampak paling besar dari tren ini adalah Asia Timur dan Tengah, Amerika Utara dan Selatan, serta Afrika Tengah. Daerah-daerah tersebut mengalami kekeringan yang tidak hanya mengganggu pasokan air untuk kehidupan sehari-hari, tapi juga berpotensi mengubah stabilitas geofisika secara global.
Pergeseran sumbu Bumi sendiri memang terdengar sepele—hanya sekitar 45 cm. Namun, dalam skala geospasial dan teknologi tinggi seperti sistem GPS (Global Positioning System), pergeseran sekecil itu bisa berdampak besar. Profesor Wilson menekankan bahwa pemantauan pergerakan sumbu Bumi dengan akurasi milimeter sangat penting agar berbagai sistem teknologi, termasuk navigasi dan komunikasi satelit, bisa tetap berjalan dengan presisi tinggi.
Implikasi dari temuan ini pun sangat luas. Selain memengaruhi teknologi dan kehidupan sehari-hari, perubahan sumbu Bumi yang disebabkan oleh ulah manusia—dalam hal ini eksploitasi air tanah secara berlebihan—menjadi peringatan keras tentang bagaimana aktivitas manusia dapat memengaruhi planet secara keseluruhan.
Kehilangan air tanah tidak hanya menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan dan akses air bersih, tetapi juga kini terbukti punya dampak struktural terhadap dinamika Bumi itu sendiri. Hal ini menambah daftar panjang konsekuensi dari krisis iklim dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.
Kesimpulan
Studi ini menjadi peringatan penting bahwa perubahan lingkungan tidak hanya terjadi di permukaan, tetapi juga mengubah aspek fundamental dari planet kita, termasuk rotasinya. Kehilangan air tanah dalam jumlah besar telah terbukti mampu menggeser sumbu Bumi—sebuah fakta ilmiah yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin kita akan menghadapi masalah-masalah baru yang lebih kompleks, seperti gangguan terhadap sistem navigasi global, percepatan perubahan iklim, dan bahkan perubahan dalam waktu rotasi harian Bumi.
Kini saatnya manusia memikirkan ulang bagaimana kita menggunakan dan mengelola sumber daya air—bukan hanya demi keberlanjutan lingkungan, tetapi juga demi kestabilan planet yang kita huni.