Sistem Zonasi Sekolah: Solusi Pemerataan atau Justru Masalah Baru?
Tanggal: 22 Mei 2025 09:59 wib.
Beberapa tahun belakangan ini, salah satu topik yang paling sering bikin heboh dunia pendidikan kita adalah sistem zonasi sekolah. Aturan ini, yang intinya memprioritaskan calon siswa berdasarkan jarak rumah ke sekolah, digadang-gadang sebagai solusi pemerataan pendidikan. Tujuannya mulia: biar nggak ada lagi sekolah favorit yang cuma diisi anak-anak dari kalangan tertentu, dan biar semua sekolah punya kesempatan yang sama untuk maju. Tapi, di lapangan, kok ya sering banget muncul masalah dan kontroversi? Jadi, sebenarnya, sistem zonasi ini solusi atau justru menciptakan masalah baru?
Awalnya, gagasan di balik sistem zonasi itu memang sangat idealis. Di banyak daerah, sekolah-sekolah unggulan seringkali hanya bisa diakses oleh siswa-siswa yang punya nilai tinggi atau dari keluarga mampu yang bisa membayar les mahal. Akibatnya, sekolah lain jadi "terbuang" dan kualitasnya makin merosot. Ketimpangan ini bikin jurang pemisah antar siswa makin lebar. Dengan zonasi, pemerintah ingin menciptakan pemerataan pendidikan yang lebih adil. Setiap anak punya hak belajar di sekolah terdekatnya, tanpa harus bersaing nilai atau berebut kursi.
Manfaat idealnya adalah: pertama, bisa mengurangi fenomena sekolah favorit dan non-favorit. Semua sekolah diharapkan punya siswa dengan latar belakang akademik yang beragam, sehingga tidak ada lagi stigma "sekolah buangan". Kedua, ini bisa mengurangi biaya dan waktu perjalanan siswa ke sekolah. Anak-anak jadi bisa jalan kaki atau naik sepeda, lebih dekat, lebih hemat, dan mengurangi kemacetan. Ketiga, ini mendorong orang tua untuk berpartisipasi aktif dalam memajukan sekolah di lingkungan terdekat mereka, karena toh anak-anak mereka akan bersekolah di sana.
Namun, di balik tujuan mulia itu, implementasi di lapangan seringkali jauh dari harapan, bahkan memunculkan masalah baru. Salah satu yang paling sering jadi sorotan adalah soal manipulasi data jarak. Nggak sedikit orang tua yang rela pindah domisili sementara, memalsukan alamat, atau bahkan membeli rumah di dekat sekolah impian demi memasukkan anaknya. Ini jelas mencederai prinsip keadilan yang ingin dibangun zonasi.
Kemudian, ada juga masalah kualitas guru dan fasilitas sekolah yang belum merata. Meskipun siswa dipaksa masuk ke sekolah terdekat, kalau kualitas gurunya belum bagus dan fasilitasnya minim, toh esensi pemerataan kualitas pendidikan itu jadi nggak tercapai. Anak-anak yang sebenarnya berpotensi tinggi, tapi rumahnya dekat dengan sekolah yang kualitasnya kurang, jadi terhambat pengembangannya. Ini menimbulkan dilema besar bagi orang tua dan siswa.
Masalah lainnya adalah ketersediaan daya tampung sekolah. Di beberapa daerah padat penduduk, jumlah sekolahnya terbatas, sementara jumlah anak usia sekolah sangat banyak. Akibatnya, meskipun sudah zonasi, tetap saja ada siswa yang tidak tertampung atau harus bersekolah sangat jauh dari rumahnya karena zonanya terlalu luas. Ini menunjukkan bahwa kebijakan sekolah zonasi tidak bisa berdiri sendiri, harus diiringi dengan pembangunan dan peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh.
Jadi, sistem zonasi sekolah: solusi pemerataan atau justru masalah baru? Jawabannya mungkin di tengah-tengah. Zonasi punya potensi besar untuk menciptakan pemerataan jika didukung dengan kebijakan dan implementasi yang matang. Tidak hanya soal aturan jarak, tapi juga peningkatan kualitas guru, pembangunan fasilitas yang merata, dan penambahan daya tampung sekolah. Tanpa itu, zonasi hanya akan jadi masalah baru yang memindahkan kerumitan dari satu titik ke titik lain.
Pemerintah perlu terus mengevaluasi dan memperbaiki aturan zonasi ini, mendengarkan masukan dari semua pihak, dan mencari solusi komprehensif agar hak belajar setiap anak benar-benar bisa terpenuhi tanpa pandang bulu. Agar sekolah adil bukan cuma jadi impian, tapi jadi kenyataan.