Selama Ini Salah, Manusia Lahir Ternyata Bukan dari Sperma Terkuat
Tanggal: 19 Nov 2024 09:30 wib.
Kepercayaan yang populer selama ini adalah bahwa manusia lahir dari sperma terkuat. Setiap orang percaya bahwa ketika satu sperma berhasil menembus sel telur, ia adalah pemenang dari jutaan sperma lainnya. Kepercayaan ini seringkali diikuti dengan narasi motivasional bahwa manusia seharusnya seperti sperma yang berhasil menang dalam perlombaan melawan yang lainnya.
Meskipun demikian, kekeliruan telah lama merajalela di masyarakat yang menganggap bahwa proses pembuahan hanya tergantung pada peran pria dan mengabaikan kontribusi perempuan. Penelitian ilmiah telah membantah pandangan tersebut. Salah satunya adalah peneliti dari Universitas Zurich, Robert D Martin, yang membantah mitos keperkasaan sperma dalam artikel berjudul "The Macho Sperm Myth" di situs Aeon. Menurutnya, pandangan bahwa sperma merupakan penentu utama dalam proses pembuahan sebenarnya hanyalah fantasi pria dan dongeng ilmiah belaka.
Dampak dari pandangan ini adalah merendahkan peran biologis perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Padahal, perjalanan sperma di dalam organ reproduksi perempuan tidaklah semudah yang diperkirakan. Robert menyebutnya sebagai perjuangan melintasi rintangan yang sangat menantang.
Rintangan pertama terjadi di vagina. Kondisi asam tinggi di vagina mengakibatkan banyak sperma mati. Sperma yang masih bertahan harus melewati lendir serviks atau mulut rahim, yang merupakan tahap penyeleksian berikutnya. Sel sperma yang mengalami kerusakan harus tersingkir. Ketika sperma berhasil melewati mulut rahim, mereka tidak bisa berenang dengan bebas. Sel telur melakukan penyeleksian lagi sebelum proses pembuahan.
Robert menjelaskan, "Saat berada di saluran telur, sperma akan terikat secara sementara ke permukaan dalam, dan hanya sebagian kecil yang dilepaskan dan diperbolehkan mendekati sel telur."
Hal ini mematahkan mitos bahwa banyak sperma akar memastikan kemenangan dalam perlombaan. Faktanya, terdapat kontraksi otot rahim yang turut membantu sperma bergerak melewati tuba fallopi sebelum akhirnya mencapai sel telur.
Pendapat ini didukung oleh peneliti dari Universitas Stockholm, John Fitzpatrick, dalam wawancara dengan CNN International. Selama proses reproduksi, sistem imun perempuan akan menyerang sperma karena dianggap sebagai entitas asing.
Sehingga, dari ratusan juta sperma yang awalnya ada, jumlahnya secara bertahap menurun. Sperma yang tidak berkualitas dan berpotensi menghasilkan cacat akan tersingkir secara otomatis. Pada akhirnya, hanya beberapa ratus sperma yang akan bersaing untuk membuahi sel telur. Kemudian, sel telur akan memilih sperma mana yang akan menjadi pemenang dalam proses pembuahan.
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa organ reproduksi perempuan tidaklah pasif. Sebaliknya, mereka memainkan peran aktif dalam proses penyeleksian sperma. Oleh karena itu, pandangan yang mengagungkan peran laki-laki dalam proses reproduksi perlu dipertanyakan.
Meskipun demikian, mengubah pandangan tersebut tidaklah mudah. Hal ini karena pandangan tersebut telah mengakar kuat dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya edukasi dan pemahaman yang lebih baik tentang proses reproduksi manusia untuk mematahkan pandangan yang telah lama terbentuk.