Sekolah Negeri Mulai Bayar Administrasi di 2025, Benarkah Janji Sekolah Gratis Kini Tinggal Nama?
Tanggal: 10 Mei 2025 17:34 wib.
Tampang.com | Wacana baru mencuat dari sejumlah daerah di Indonesia: sekolah negeri mulai mengenakan biaya administrasi kepada siswa. Meskipun jumlahnya dianggap “sumbangan sukarela”, banyak orang tua merasa ini bertentangan dengan janji pendidikan gratis yang selama ini digaungkan pemerintah. Apakah ini tanda mundurnya komitmen negara terhadap akses pendidikan gratis dan merata?
Pendidikan Gratis Tapi Berbiaya
Di atas kertas, sekolah negeri di Indonesia masih menganut sistem pendidikan gratis dari jenjang dasar hingga menengah. Namun kenyataannya, berbagai pungutan mulai dari biaya kebersihan, fotokopi, hingga “uang komite” mulai bermunculan lagi, bahkan dilegalkan oleh kebijakan pemerintah daerah.
“Saat pendaftaran anak saya ke SMP negeri, diminta sumbangan Rp350.000 untuk administrasi awal. Katanya bukan pungutan wajib, tapi tidak menyumbang jadi serba salah,” ungkap Ika, orang tua siswa di Jakarta Timur.
Permendikbud Tidak Lagi Melarang Pungutan Tertentu
Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Pelayanan Minimal menyebutkan bahwa sekolah boleh menerima sumbangan dari masyarakat atau komite sekolah, selama tidak bersifat wajib. Namun implementasinya di lapangan sering kabur antara sumbangan dan pungutan.
“Yang disebut sukarela, pada praktiknya jadi wajib. Ini melanggar semangat pendidikan gratis,” tegas Fajar Arifianto, aktivis pendidikan dari Koalisi Masyarakat Peduli Sekolah.
Daerah Beralasan Kebutuhan Operasional Tidak Cukup
Sejumlah pemerintah daerah membela kebijakan ini dengan alasan keterbatasan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang tidak mencukupi kebutuhan operasional harian. Gaji honorer, kegiatan ekstra, hingga perawatan gedung kerap membutuhkan dana tambahan.
Namun publik menilai bahwa semestinya ini menjadi tanggung jawab negara, bukan dibebankan ke siswa.
Ketimpangan Akses dan Ancaman Putus Sekolah
Bagi keluarga ekonomi lemah, pungutan kecil pun bisa menjadi beban. Ancaman putus sekolah bisa meningkat jika tren ini terus meluas, apalagi jika tanpa kontrol dan pengawasan transparan.
“Kami sudah susah beli seragam, sekarang diminta sumbangan macam-macam. Mau sekolah negeri saja sekarang mahal,” keluh Narti, buruh cuci dari Solo.
Transparansi dan Pengawasan Lemah
Pengamat pendidikan menyoroti lemahnya pengawasan dalam penggunaan dana “sumbangan” yang dikumpulkan. Banyak yang tidak dilaporkan secara terbuka, dan orang tua tidak dilibatkan dalam perencanaan penggunaan dana.
“Kita butuh regulasi yang jelas dan sistem pelaporan yang transparan. Tanpa itu, sekolah bisa jadi ladang pungutan liar terselubung,” ujar Fajar.
Arah Kebijakan Harus Kembali ke Prinsip Dasar
Pendidikan adalah hak, bukan komoditas. Jika negara mulai membiarkan pungutan terselubung di sekolah negeri, maka prinsip keadilan sosial sedang dipertaruhkan.
“Pemerintah harus tegas: kalau memang tidak mampu menjamin gratis, katakan saja. Jangan biarkan publik bingung antara janji dan realita,” tutup Fajar.