Sekolah di Kota Mewah, di Desa Rapuh! Ketimpangan Akses Pendidikan Kian Nyata
Tanggal: 13 Mei 2025 22:58 wib.
Tampang.com | Meski pemerintah telah menjanjikan pemerataan akses pendidikan sejak era reformasi, realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Di kota-kota besar, fasilitas sekolah makin canggih, sementara di banyak wilayah terpencil, murid masih belajar di ruang kelas yang nyaris roboh.
Sekolah di Kota vs Sekolah di Desa
Perbedaan kualitas pendidikan begitu mencolok. Di Jakarta dan Surabaya, banyak sekolah dilengkapi laboratorium, akses internet cepat, dan program belajar digital. Sebaliknya, di pelosok Kalimantan atau NTT, guru masih berjuang mengajar dengan papan tulis usang, buku minim, bahkan tanpa listrik.
"Setiap tahun kami dengar jargon pendidikan merata, tapi kami masih pakai papan tulis yang retak dan atap sekolah bocor. Murid kami banyak yang jalan kaki lebih dari satu jam untuk sekolah," kata Sri Hartinah, guru di pedalaman Bengkulu.
Kualitas Guru Jadi Masalah Serius
Masalah lain adalah distribusi tenaga pendidik yang tidak merata. Daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) kekurangan guru berkualitas, sementara guru-guru senior cenderung menumpuk di kota besar karena fasilitas dan tunjangan yang lebih baik.
"Di banyak desa, guru honorer mengajar tanpa pelatihan yang memadai. Padahal mereka yang paling butuh peningkatan kapasitas," jelas Bambang Suryono, peneliti pendidikan dari LIPI.
Pemerintah Dinilai Gagal Menata Sistem
Berbagai program seperti zonasi pendidikan, BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan digitalisasi pembelajaran ternyata belum mampu menjangkau seluruh wilayah secara adil. Bahkan, digitalisasi yang digadang-gadang justru memperlebar jurang, karena akses internet di desa masih sangat terbatas.
"Kalau semua harus daring, bagaimana anak di desa tanpa sinyal bisa belajar? Pemerataan itu bukan hanya soal distribusi tablet atau kuota, tapi soal ekosistem belajar yang adil," tegas Bambang.
Apa Solusi Nyatanya?
Para ahli mendorong reformasi menyeluruh di sektor pendidikan:
Insentif nyata bagi guru yang bersedia ditempatkan di wilayah terpencil.
Audit menyeluruh terhadap distribusi dana BOS dan infrastruktur sekolah.
Pengembangan sistem pendidikan yang disesuaikan dengan konteks lokal, bukan seragam nasional.
Penyediaan transportasi sekolah di wilayah-wilayah sulit jangkau.
Jika pendidikan terus menjadi ladang ketimpangan, maka anak-anak Indonesia tidak pernah benar-benar berdiri pada pijakan yang setara. Pendidikan bukan soal nilai rapor, tapi soal keadilan sosial di masa depan.