Sumber foto: Pinterest

Pendidikan Emosi di Sekolah: Perlukah Anak Belajar Mengelola Perasaan?

Tanggal: 22 Mei 2025 10:15 wib.
Pernah lihat anak yang tiba-tiba ngamuk di tempat umum karena keinginannya nggak dituruti? Atau anak yang mendadak mogok belajar gara-gara merasa nggak bisa dan langsung menyerah? Ini bukan cuma masalah kenakalan, lho. Seringkali, ini adalah tanda bahwa mereka belum tahu cara mengelola emosi mereka. Di era yang serba cepat dan penuh tekanan seperti sekarang, kemampuan mengelola perasaan jadi makin penting. Tapi, apakah ini perlu diajarkan di sekolah? Bukankah itu tugas orang tua di rumah?

Dulu, pendidikan di sekolah lebih fokus ke hal-hal yang sifatnya akademis: matematika, sains, bahasa, dan lain-lain. Kecerdasan diukur dari seberapa tinggi nilai pelajaran atau seberapa jago mereka memecahkan soal. Tapi sekarang, pandangan itu mulai bergeser. Banyak ahli pendidikan dan psikolog yang setuju kalau kecerdasan emosional itu sama pentingnya, bahkan kadang lebih penting, dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan emosional ini adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat. Ini juga termasuk kemampuan untuk memahami emosi orang lain.

Bayangkan saja, anak yang cerdas secara akademik tapi mudah marah, gampang putus asa, atau sulit bergaul. Kira-kira bakal sukses nggak mereka dalam hidupnya? Belum tentu, kan? Justru di situlah pendidikan emosi jadi sangat relevan. Di sekolah, anak-anak nggak cuma belajar soal pelajaran, tapi juga berinteraksi dengan teman-teman, guru, dan berbagai situasi yang bisa memicu berbagai emosi. Dari situ, mereka bisa belajar tentang persahabatan, persaingan, kekalahan, atau bahkan rasa senang saat meraih prestasi.

Mengapa pendidikan emosi di sekolah itu penting? Pertama, karena ini membantu anak mengenali perasaannya sendiri. Seringkali, anak-anak kesulitan membedakan antara marah, kecewa, sedih, atau cemburu. Dengan pendidikan emosi, mereka diajari untuk memberi nama pada perasaan itu, memahami apa yang memicu perasaan tersebut, dan bagaimana dampaknya pada diri mereka. Ini adalah langkah awal untuk bisa mengelola emosi dengan baik.

Kedua, pendidikan emosi mengajarkan anak cara mengungkapkan perasaannya secara tepat. Daripada meledak-ledak atau memendam perasaan yang bisa jadi bom waktu, mereka diajari untuk berkomunikasi dengan jujur tapi tetap menghormati orang lain. Misalnya, alih-alih berteriak saat marah, mereka bisa belajar untuk mengatakan, "Aku merasa kesal karena..." atau "Aku sedih saat..."

Ketiga, ini juga melatih empati, yaitu kemampuan memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Di lingkungan sekolah, anak-anak belajar berinteraksi dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dengan empati, mereka jadi lebih peka terhadap perasaan teman, mengurangi tindakan bullying, dan membangun hubungan yang lebih harmonis. Ini adalah fondasi penting untuk bisa hidup bermasyarakat nantinya.

Tentu saja, peran orang tua di rumah tetap yang utama. Tapi, sekolah punya kesempatan unik karena anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu mereka di sana, berinteraksi dalam kelompok yang lebih besar dan beragam. Sekolah bisa menyediakan kurikulum yang terstruktur, melatih guru untuk bisa menjadi fasilitator yang baik, dan menciptakan lingkungan yang aman untuk anak-anak belajar berekspresi.

Pendidikan emosi bukan berarti kita akan menciptakan anak-anak yang nggak pernah merasa marah atau sedih. Itu mustahil. Tapi, ini tentang membekali mereka dengan "perkakas" yang dibutuhkan untuk menghadapi pasang surut emosi dalam hidup. Dengan bekal ini, mereka bisa tumbuh menjadi individu yang lebih tangguh, mampu menghadapi tantangan, dan menjalin hubungan yang sehat. Jadi, perlukah anak belajar mengelola perasaan di sekolah? Jawabannya jelas: sangat perlu. Ini adalah investasi penting untuk masa depan mereka.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved