Sumber foto: Pinterest

Pendidikan di Pedalaman: Apa Tantangannya di Era Modern?

Tanggal: 22 Mei 2025 10:03 wib.
Di tengah riuhnya obrolan tentang kurikulum baru, teknologi AI di kelas, atau metode belajar kekinian di kota-kota besar, seringkali kita lupa ada saudara-saudari kita di daerah terpencil yang masih berjuang keras hanya untuk bisa sekolah. Mereka, anak-anak di pedalaman, punya semangat belajar yang luar biasa. Tapi, seberapa jauh sih kita memahami tantangan yang mereka hadapi dalam mengakses pendidikan di era modern ini? Jangan salah, tantangannya bukan cuma soal jalan becek atau sekolah yang jauh, lho.

Salah satu tantangan terbesar adalah akses sekolah itu sendiri. Bayangkan, untuk sampai ke sekolah, mereka harus menempuh perjalanan berjam-jam, melewati hutan, menyeberangi sungai, atau jalan setapak yang sulit dilalui, apalagi di musim hujan. Nggak jarang, mereka harus jalan kaki puluhan kilometer. Di beberapa tempat, bahkan belum ada bangunan sekolah yang layak, sehingga kegiatan belajar-mengajar harus dilakukan di gubuk seadanya atau di alam terbuka. Ini tentu sangat berbeda jauh dengan anak-anak di kota yang mungkin cuma tinggal jalan kaki beberapa menit atau naik kendaraan sebentar.

Kemudian, masalah infrastruktur juga jadi momok. Listrik? Jangan harap ada di semua pelosok. Internet? Itu masih jadi mimpi di siang bolong bagi sebagian besar mereka. Bagaimana bisa bicara pendidikan modern yang mengandalkan gadget atau pembelajaran online kalau listrik saja tidak ada, apalagi sinyal internet? Fasilitas penunjang seperti perpustakaan, laboratorium, atau bahkan toilet yang bersih pun seringkali jadi barang mewah yang sulit ditemui di sekolah pedalaman. Akibatnya, kualitas pendidikan yang mereka dapatkan jadi jauh tertinggal.

Tantangan lainnya adalah soal guru. Menjadi guru di daerah terpencil itu bukan pekerjaan mudah. Mereka harus rela jauh dari keluarga, hidup dalam keterbatasan fasilitas, dan menghadapi medan yang sulit setiap hari. Akibatnya, banyak guru yang enggan ditempatkan di sana, atau kalaupun ada, mereka tidak betah lama. Padahal, guru adalah ujung tombak pendidikan. Minimnya guru berkualitas dan seringnya pergantian guru tentu sangat mempengaruhi kontinuitas dan kualitas pembelajaran bagi anak-anak di pedalaman.

Selain itu, kurikulum yang seragam juga kadang jadi masalah. Kurikulum yang dirancang untuk kondisi perkotaan seringkali tidak relevan dengan konteks kehidupan anak-anak di pedalaman. Misalnya, pelajaran yang terlalu banyak membahas tentang perkotaan, padahal kehidupan mereka dekat dengan alam. Ini bisa membuat anak-anak merasa pelajaran jauh dari kehidupan sehari-hari mereka, sehingga minat belajar jadi berkurang.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pemerintah punya peran sentral untuk terus berupaya memeratakan akses pendidikan dan membangun infrastruktur yang memadai. Ini bukan cuma soal bangunan sekolah, tapi juga listrik, air bersih, dan akses internet. Program pengiriman guru-guru terbaik ke daerah terpencil juga harus lebih digalakkan, lengkap dengan insentif yang menarik agar mereka betah mengabdi.

Tidak hanya itu, inovasi juga penting. Pembelajaran yang berbasis komunitas, pemanfaatan sumber daya lokal, atau pengembangan kurikulum yang relevan dengan kearifan lokal bisa jadi solusi. Teknologi sederhana yang tidak bergantung pada listrik atau internet juga bisa dieksplorasi.

Pada akhirnya, pendidikan di pedalaman bukan hanya soal mencerdaskan anak bangsa, tapi juga tentang keadilan. Setiap anak Indonesia, di mana pun mereka berada, punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sudah saatnya kita lebih serius melihat tantangan ini dan bergerak bersama agar slogan "Pendidikan adalah hak setiap warga negara" benar-benar menjadi kenyataan bagi semua, termasuk anak-anak di pelosok negeri.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved