Sumber foto: Pinterest

Pendidikan dan Ketimpangan Sosial: Masihkah Sekolah untuk Semua?

Tanggal: 22 Mei 2025 10:12 wib.
Di negeri kita, seringkali kita mendengar slogan "Pendidikan adalah hak setiap warga negara." Keren, kan? Seolah-olah semua anak, tanpa memandang latar belakangnya, punya kesempatan yang sama untuk sekolah dan meraih cita-cita. Tapi, kalau kita lihat lebih dekat, realitanya nggak seindah itu. Nyatanya, ketimpangan sosial masih jadi PR besar dalam dunia pendidikan kita. Pertanyaannya, dalam kondisi seperti sekarang, masihkah sekolah untuk semua, atau jangan-jangan cuma buat yang punya privilege tertentu saja?

Mari kita jujur, akses pendidikan itu nggak merata. Di kota-kota besar, mungkin gampang sekali menemukan sekolah bagus dengan fasilitas lengkap, guru-guru berkualitas, dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang menunjang. Tapi coba geser sedikit ke daerah pelosok, daerah terpencil, atau bahkan di pinggiran kota yang kumuh. Seringkali kita dapati sekolah yang kondisinya memprihatinkan, gedungnya reyot, buku pelajaran terbatas, internet entah di mana, apalagi guru yang kompeten dan betah mengajar di sana. Ini baru soal fisik, belum lagi soal biaya.

Meskipun ada program sekolah gratis atau bantuan dana BOS, faktanya, biaya pendidikan itu nggak cuma SPP. Ada biaya seragam, buku, transportasi, uang saku, les tambahan, sampai kebutuhan gadget untuk belajar online. Nah, di sinilah ketimpangan ekonomi mulai menunjukkan taringnya. Keluarga dengan ekonomi pas-pasan seringkali harus memutar otak keras, bahkan terpaksa memilih antara makan hari ini atau biaya sekolah anak. Nggak jarang, anak-anak dari keluarga miskin harus putus sekolah karena terpaksa membantu orang tua mencari nafkah. Ini adalah realitas pahit yang harus kita akui.

Dampak dari ketimpangan ini sangat serius. Anak-anak yang tidak punya hak belajar yang setara sejak dini akan kesulitan bersaing di kemudian hari. Kualitas pendidikan yang mereka terima jauh berbeda. Lulusan dari sekolah yang minim fasilitas dan guru yang terbatas tentu punya modal yang berbeda saat harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau saat mencari pekerjaan. Akibatnya, lingkaran kemiskinan bisa terus berputar dari generasi ke generasi. Pendidikan, yang seharusnya jadi jembatan untuk mobilitas sosial ke atas, justru malah jadi tembok pemisah.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, pemerintah perlu lebih serius lagi dalam pemerataan akses pendidikan. Ini bukan cuma soal membangun gedung sekolah, tapi juga memastikan ketersediaan guru berkualitas di daerah terpencil, penyediaan fasilitas yang memadai, dan tentunya, memastikan bahwa tidak ada anak yang putus sekolah karena alasan ekonomi. Program beasiswa dan bantuan sosial harus benar-benar tepat sasaran.

Kedua, inovasi dalam metode belajar juga penting. Di era digital ini, teknologi bisa jadi alat untuk menjembatani kesenjangan. Pembelajaran jarak jauh, platform edukasi online, atau penyediaan modul belajar digital bisa membantu anak-anak di daerah terpencil mendapatkan materi yang sama dengan anak-anak di kota. Tentu saja, ini juga harus diiringi dengan pemerataan akses internet.

Ketiga, dan ini yang paling penting, mindset masyarakat harus berubah. Kita semua harus menyadari bahwa pendidikan itu tanggung jawab bersama. Sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, semua harus bersinergi untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar adil dan inklusif. Jangan sampai ada lagi anak yang tertinggal hanya karena latar belakang ekonomi atau tempat tinggalnya.

Pada akhirnya, slogan "Pendidikan adalah hak setiap warga negara" itu harus benar-benar jadi kenyataan. Sekolah harusnya jadi tempat di mana setiap anak, tanpa memandang status sosial atau kondisi ekonomi, bisa mengembangkan potensi terbaiknya. Jika tidak, kita hanya akan terus menciptakan jurang pemisah yang makin dalam antara mereka yang punya dan mereka yang tidak punya. Mari kita perjuangkan agar sekolah benar-benar untuk semua.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved