Pendidikan Anti-Kekerasan: Perlu Masuk Kurikulum?
Tanggal: 24 Mei 2025 08:40 wib.
Melihat berita di media sosial atau televisi tentang kasus kekerasan di sekolah rasanya sudah bukan hal baru lagi. Setiap beberapa waktu, pasti ada saja kabar siswa yang jadi korban bully, atau bahkan pertengkaran yang berujung fatal. Hati rasanya ikut miris membayangkan masa depan anak-anak kita yang seharusnya menikmati masa-masa belajar dengan ceria, malah harus dihantui rasa takut atau trauma. Pertanyaan besar yang selalu muncul adalah: kenapa ini terus terjadi, dan apa yang bisa kita lakukan?
Salah satu jawabannya mungkin ada pada pendidikan. Bukan cuma pendidikan soal matematika atau IPA, tapi pendidikan yang lebih mendalam, pendidikan tentang bagaimana seharusnya kita bersikap, bagaimana menghargai sesama, dan bagaimana menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Inilah yang kita sebut dengan pendidikan anti-kekerasan. Nah, kalau kita bicara soal ini, muncul lagi pertanyaan: perlu nggak sih pendidikan anti-kekerasan ini masuk secara resmi ke dalam kurikulum sekolah?
Mari kita bayangkan sejenak. Setiap hari, anak-anak kita menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Di sanalah mereka berinteraksi dengan teman-teman sebaya dari berbagai latar belakang, bertemu dengan guru, dan belajar banyak hal. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, di mana setiap siswa merasa nyaman untuk belajar dan berkembang. Tapi kalau di sekolah masih ada kekerasan, rasa aman itu jelas jadi barang langka. Di sinilah pendidikan anti-kekerasan punya peran krusial.
Kalau pendidikan anti-kekerasan masuk kurikulum, artinya materi ini akan diajarkan secara terstruktur, bukan sekadar selipan atau insidental. Siswa akan diajari tentang apa itu kekerasan dalam berbagai bentuknya, mulai dari ejekan verbal, bullying fisik, hingga cyberbullying. Mereka juga akan diajari bagaimana mengenali tanda-tanda kekerasan, baik sebagai korban, pelaku, maupun saksi. Lebih dari itu, pendidikan ini juga akan menanamkan nilai empati. Anak-anak akan diajak memahami perasaan orang lain, merasakan apa yang dirasakan korban, sehingga muncul kepedulian. Ini penting banget, karena seringkali kekerasan terjadi karena pelaku tidak bisa merasakan penderitaan korbannya.
Selain empati, edukasi damai juga jadi inti dari pendidikan anti-kekerasan. Siswa akan diajari bagaimana cara menyelesaikan konflik atau perbedaan pendapat dengan cara yang damai, tanpa perlu adu jotos atau saling mencaci. Mereka akan belajar tentang komunikasi yang efektif, pentingnya mendengarkan, dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Ini bukan cuma teori di atas kertas, tapi keterampilan hidup yang sangat dibutuhkan di masyarakat. Bayangkan kalau dari kecil mereka sudah terbiasa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, bukan dengan otot. Pasti lingkungan kita akan jauh lebih tenang dan harmonis.
Memang, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa materi seperti ini sudah terselip di pelajaran Agama atau Budi Pekerti. Tapi, dengan masuknya pendidikan anti-kekerasan ke dalam kurikulum secara eksplisit, artinya sekolah akan lebih serius dan punya alokasi waktu khusus untuk membahasnya. Ini bukan cuma tanggung jawab guru Agama atau BP saja, tapi tanggung jawab seluruh elemen sekolah. Guru-guru juga perlu dibekali pelatihan khusus agar bisa menyampaikan materi ini dengan baik dan menjadi teladan bagi siswa.
Pendidikan anti-kekerasan bukan cuma mencegah terjadinya kekerasan di sekolah. Lebih jauh lagi, ini adalah investasi jangka panjang untuk membangun masyarakat yang lebih beradab. Anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman tentang empati, toleransi, dan penyelesaian konflik secara damai, kelak akan menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan berkontribusi positif bagi lingkungan sekitarnya. Mereka akan menjadi agen perubahan yang menyebarkan kebaikan, bukan kekerasan. Jadi, melihat manfaatnya yang begitu besar, rasanya wajar kalau kita bertanya: kenapa tidak segera memasukkan pendidikan anti-kekerasan ini ke dalam kurikulum pendidikan nasional kita? Ini demi masa depan anak-anak kita, demi sekolah yang benar-benar jadi rumah kedua yang aman bagi mereka.