"Merdeka" Belajar, Ringankan Beban Keluarga Lewat Sekolah Rakyat
Tanggal: 20 Agu 2025 13:23 wib.
Pagi itu, tepat pukul delapan, langit Aceh Besar tampak cerah ketika derap langkah pasukan pengibar bendera terdengar di halaman Sentra Darussa’adah, Kecamatan Darul Imarah. Upacara peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI berlangsung khidmat, diwarnai semangat anak-anak muda yang mengenakan pakaian adat, berdiri tegap dengan pandangan penuh keyakinan. Salah satunya adalah Fadil Royan, siswa Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 1 Aceh Besar yang diberi kepercayaan memimpin pasukan pengibar bendera. Baginya, kesempatan ini bukan sekadar seremoni, tetapi anugerah besar yang ia syukuri, terlebih ia harus melewati seleksi yang ketat sebelum akhirnya bisa berdiri gagah membawa Sang Saka Merah Putih.
Fadil, remaja yang bercita-cita menjadi tentara, tumbuh dalam keluarga sederhana. Orang tuanya telah berpisah, dan kini ia tinggal bersama sang ibu, Fitriana. Sejak kecil, ia sudah belajar menghadapi keterbatasan. Saat masih SD dan MTSN, seragam yang dikenakan bukanlah seragam baru, melainkan milik sang kakak yang ukurannya kebetulan pas di tubuhnya. Sesekali, ia juga membantu di warung nasi untuk mendapatkan uang tambahan bagi kebutuhan sekolah. Namun semua keterbatasan itu tak menyurutkan tekadnya untuk belajar sungguh-sungguh. Di SRMA, ia merasa lega karena semua biaya sekolah, mulai dari seragam, alat tulis, laptop, hingga asrama dan makan sehari-hari, sudah ditanggung oleh pemerintah. “Alhamdulillah saya bangga dan bersyukur bisa jadi bagian dari momen ini. Ini juga rangkaian dari impian saya,” ucapnya lirih, menahan haru.
Di sisi lain, ada kisah Cahaya Permata, siswi SRMA 1 Aceh Besar yang dipercaya membawa bendera Merah Putih pada upacara kemerdekaan tersebut. Dara kelahiran 2010 ini adalah anak ketiga dari enam bersaudara, lahir dari keluarga buruh bangunan. Sang ayah bekerja keras di proyek demi menghidupi keluarga, sementara sang ibu, Darsina, harus mencurahkan waktu merawat adiknya yang menderita hidrosefalus. Kondisi itu membuat Cahaya semakin sadar bahwa pendidikan adalah jalan untuk mengubah masa depan. “Senang, bangga bisa jadi bagian dari pengibaran bendera HUT ke-80 RI. Ini pertama kalinya,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjadi Polwan, cita-cita yang ia sebut sebagai jalan untuk membanggakan orang tua sekaligus mengangkat derajat keluarganya.
Sekolah Rakyat menjadi cahaya baru bagi anak-anak seperti Fadil dan Cahaya. Program strategis pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto ini dirancang untuk memberikan pendidikan gratis berkualitas bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem di seluruh pelosok negeri. Tidak hanya fasilitas asrama, seragam, dan perlengkapan belajar, pemerintah juga membekali siswa dengan laptop, laboratorium komputer, bahkan memastikan kebutuhan makan harian tercukupi. Dengan adanya sekolah ini, anak-anak tak lagi terbebani oleh keterbatasan biaya, sehingga mereka bisa fokus belajar dan meraih mimpi setinggi mungkin.
Presiden dalam pidato kenegaraannya menegaskan bahwa Sekolah Rakyat adalah program prioritas yang bukan hanya soal pemerataan pendidikan, tetapi juga strategi percepatan memutus rantai kemiskinan ekstrem hingga nol persen. Targetnya, setiap tahun akan hadir 100 sekolah baru agar semakin banyak anak-anak dari pelosok bisa merasakan kesempatan yang sama. Di luar itu, pemerintah juga menyalurkan ratusan ribu smart TV ke sekolah reguler di daerah terpencil untuk memperluas akses pembelajaran dari guru-guru terbaik.
Kisah Fadil dan Cahaya hanyalah dua dari ratusan kisah lain anak-anak di SRMA yang tumbuh dengan semangat belajar tanpa lagi terbebani oleh keterbatasan ekonomi keluarga. Mereka kini bisa benar-benar merdeka dalam belajar, menatap masa depan dengan penuh keyakinan, serta berusaha mengubah nasib keluarga lewat pendidikan. Dalam wajah-wajah muda mereka, tersimpan harapan besar bahwa kemerdekaan bukan hanya sebatas simbol perayaan, melainkan nyata hadir lewat kesempatan sekolah gratis yang memerdekakan.