Sumber foto: Canva

Mengapa Perundungan di Sekolah Masih Sulit Dihentikan?

Tanggal: 1 Sep 2025 13:41 wib.
Perundungan, atau bullying, adalah isu yang terus menghantui dunia pendidikan. Meskipun berbagai kampanye dan kebijakan anti-perundungan telah digalakkan, kenyataannya, Masalah ini masih sulit diberantas sepenuhnya dari lingkungan sekolah. Kasus-kasus perundungan, baik verbal, fisik, maupun siber, terus bermunculan, meninggalkan luka mendalam bagi para korban. Mengapa masalah ini terletak pada kompleksitas faktor yang saling berkaitan, mulai dari kurangnya pemahaman hingga ketidakmampuan sistem untuk merespons secara efektif.

Kurangnya Kesadaran dan Empati dari Berbagai Pihak

Salah satu hambatan terbesar dalam memberantas perundungan adalah kurangnya kesadaran dan empati. Sering kali, perundungan dianggap sebagai kenakalan remaja biasa atau "candaan" yang tidak berbahaya. Pemahaman yang keliru ini membuat banyak orang, termasuk guru, orang tua, dan bahkan siswa lain, cenderung meremehkan atau mengabaikan tindakan tersebut. Mereka mungkin tidak menyadari dampak psikologis yang parah pada korban, seperti trauma, depresi, atau kecemasan yang bisa bertahan hingga dewasa.

Di sisi lain, kurangnya empati pada pelaku perundungan juga menjadi masalah. Pelaku sering tidak bisa merasakan atau memahami rasa sakit yang mereka timbulkan. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti masalah di rumah, rasa tidak aman pada diri sendiri, atau keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dan perhatian. Tanpa adanya kesadaran akan dampak dan kemampuan untuk berempati, siklus perundungan akan terus berlanjut.

Peran Pasif Saksi dan Lingkaran Diam

Perundungan tidak hanya melibatkan pelaku dan korban, tetapi juga para saksi. Sayangnya, banyak saksi yang memilih untuk diam atau tidak bertindak. Mereka mungkin takut menjadi target berikutnya jika mencoba membela korban, atau mereka merasa tidak memiliki kewajiban untuk ikut campur. Lingkaran diam ini justru memperkuat posisi pelaku, yang merasa tindakannya tidak akan mendapat konsekuensi.

Sistem sekolah seringkali gagal memberdayakan saksi untuk berbicara. Kurangnya saluran pelaporan yang aman, anonim, dan efektif membuat siswa enggan melaporkan apa yang mereka lihat. Jika seorang siswa yang melapor justru mendapat perlakuan buruk atau tidak ada tindakan nyata dari pihak sekolah, hal itu akan mengirimkan pesan bahwa melaporkan perundungan adalah sia-sia. Dengan demikian, saksi secara tidak langsung turut berkontribusi pada kelanggengan perundungan.

Penanganan yang Tidak Tepat dan Kurangnya Komunikasi

Banyak sekolah sudah punya kebijakan anti-perundungan, tetapi penanganan yang tidak tepat sering kali menjadi masalah. Beberapa sekolah mungkin hanya memberikan hukuman ringan, seperti skorsing, tanpa memberikan rehabilitasi atau bimbingan bagi pelaku. Hukuman tanpa edukasi tidak akan mengubah perilaku dan hanya membuat pelaku merasa dendam.

Selain itu, seringkali tidak ada komunikasi yang efektif antara pihak sekolah, orang tua, dan siswa. Orang tua mungkin tidak tahu bahwa anaknya menjadi korban atau pelaku, dan jika tahu, mereka bisa jadi tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari sekolah. Kurangnya kolaborasi ini membuat penanganan menjadi parsial dan tidak komprehensif.

Media Sosial dan Perundungan Siber

Perkembangan teknologi, khususnya media sosial, telah membawa perundungan ke level yang baru dan lebih sulit dikendalikan. Perundungan siber (cyberbullying) memungkinkan pelaku untuk bersembunyi di balik anonimitas dan menyerang korban kapan saja dan di mana saja. Pesan-pesan kebencian, foto yang memalukan, atau rumor palsu bisa menyebar dengan sangat cepat dan masif, menyebabkan kerusakan reputasi dan trauma yang lebih besar.

Sekolah dan orang tua sering kesulitan melacak dan menghentikan perundungan siber karena terjadi di luar lingkungan sekolah. Kurangnya literasi digital pada orang tua dan sistem yang belum siap untuk menghadapi ancaman ini membuat korban perundungan siber sering merasa sendirian dan tidak memiliki tempat untuk mengadu. Perundungan siber tidak mengenal batas jam sekolah, menjadikannya ancaman 24/7 bagi para korban.

Akar Masalah dari Lingkungan Sosial dan Keluarga

Perundungan di sekolah seringkali hanyalah gejala dari masalah yang lebih dalam, yang berakar dari lingkungan sosial dan keluarga. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan penuh kekerasan atau kurang kasih sayang, atau yang memiliki masalah mental seperti depresi, mungkin melampiaskan frustrasi mereka dengan merundung orang lain. Mereka meniru pola perilaku yang mereka lihat di rumah atau di lingkungan sekitar.

Faktor-faktor seperti perbedaan status sosial-ekonomi, ras, atau fisik juga sering menjadi pemicu perundungan. Remaja yang merasa tidak aman dengan identitasnya atau yang merasa berbeda mungkin akan menjadi pelaku atau korban perundungan. Mengatasi perundungan di sekolah tidak bisa hanya dengan melihat kasus per kasus, tetapi harus dengan melihat masalah secara menyeluruh dan memberikan intervensi dari tingkat keluarga dan komunitas.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved