Sumber foto: iStock

Mengapa Orang Yahudi Sering Jadi Juara Intelektual dan Ekonomi Dunia? Simak Strategi Mereka yang Bisa Ditiru!

Tanggal: 23 Jun 2025 09:58 wib.
Bangsa Yahudi di dunia Barat sejatinya telah menorehkan prestasi luar biasa sepanjang abad ke-20. Mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh intelektual dan menempati posisi tinggi dalam kasta ekonomi. Fakta mencengangkan: antara 1901 hingga 1962, sekitar 16% dari pemenang Nobel untuk bidang sains adalah orang Yahudi, termasuk tokoh fisika legendaris Albert Einstein yang menerima Nobel pada 1921.

Menurut riset Paul Burstein dalam jurnal Jewish Educational and Economic Success in the United States (2007), orang Yahudi di Amerika Serikat mencatat angka keberhasilan ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi dibanding kelompok etnis lainnya. Tapi apa sebenarnya kunci sukses mereka sehingga “menggenggam dunia” hingga tingkat internasional?

1. Kecerdasan di Atas Rata-rata: Fakta atau Mitos?

Richard Lynn dan Satoshi Kanazawa dalam artikel How to Explain High Jewish Achievement (2008) mengajukan dua hipotesis utama. Pertama, mereka menegaskan bahwa orang Yahudi memiliki rata-rata IQ lebih tinggi. Klaim ini awalnya didasarkan pada pengamatan subjektif, seperti yang tertulis dalam Jewish Contribution to Civilization oleh Jacobs (1919), yang menyebut bangsa Yahudi Jerman sebagai poros peradaban Eropa.

Namun, bukti baru muncul seiring berkembangnya tes IQ pada pertengahan abad ke-20. Hasil studi menunjukkan bahwa klaim tentang kecerdasan tinggi komunitas Yahudi memang valid. Walaupun tidak sepenuhnya mewakili seluruh populasi, data ini memberikan landasan kuantitatif atas pengamatan empiris sebelumnya.

2. Budaya Prestasi yang Tertanam Kuat

Hipotesis kedua mengarah pada aspek budaya. Menurut Lynn dan Kanazawa, orang Yahudi menekankan etos kerja dan pencapaian akademik sejak dini. Kesuksesan bukan sekadar harapan orang tua; melainkan kewajiban yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Nilai-nilai ini diwujudkan melalui prioritas gizi sehat, waktu belajar, dan kebiasaan membaca. Mereka percaya bahwa literasi adalah jalan keluar dari kemiskinan dan ketidakberdayaan—sebuah strategi yang telah dipraktekkan klasik sejak era Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 M).

3. Trauma Sejarah Memacu Literasi

Riset oleh The Chosen Few: How Education Shaped Jewish History (2012) menunjukkan bahwa pengalaman tragis seperti penghancuran Bait Suci di Yerusalem memantik dorongan mendalam untuk meninggalkan buta huruf. Sebagai tanggapan, komunitas Yahudi menjauh dari sektor agraris dan lebih fokus pada pendidikan dan keterampilan intelektual.

Akibatnya, akses pendidikan menjadi prioritas komunitas, membuka jalur menuju pekerjaan bernilai tinggi dan posisi sosial yang prestisius.

4. Solidaritas Komunitas dan Peluang Usaha

Sejarawan Jerry Z. Muller dalam Project Syndicate menambahkan dua hal penting. Pengalaman diskriminasi membawa orang Yahudi untuk membangun network internal yang kuat, menciptakan komunitas yang saling membantu. Ini membuka peluang kolaborasi dalam usaha, penelitian, dan penciptaan lapangan kerja baru.

Kedua, kondisi segregasi memaksa orang Yahudi untuk berinovasi—bekerja di sektor yang ditinggalkan mayoritas masyarakat, seperti perdagangan, jasa keuangan, dan teknologi. Mereka menjadi pelopor di bidang usaha yang minim perhatian publik, tetapi memiliki potensi tinggi.

5. Kreativitas yang Memecah Tradisi

Burstein menambahkan faktor penting lain: kecenderungan skeptis terhadap norma sosial setempat. Dalam banyak kasus, Yahudi sebagai imigran atau minoritas tidak sepenuhnya mengikuti pola pikir lokal. Sebaliknya, mereka cenderung mencari solusi alternatif lewat riset atau inovasi.

Kreativitas semacam ini memunculkan penemuan baru—di bidang teknologi, sains, dan humaniora—yang kemudian memberi mereka keunggulan kompetitif. Individu seperti Einstein adalah contoh dari pemikiran non-konformis yang terlahir dari budaya semacam itu.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved