Malaysia: Dualisme Pendidikan Nasional dan Religius
Tanggal: 27 Mei 2025 11:08 wib.
Tampang.com | Kalau kita bicara tentang pendidikan Malaysia, ada satu hal yang cukup menarik dan sering jadi perbincangan, yaitu adanya dualisme sistem. Nggak cuma ada sekolah nasional yang fokus pada kurikulum umum, tapi juga ada sistem pendidikan agama yang berjalan paralel dan punya peran cukup signifikan. Ini adalah ciri khas yang membentuk lanskap pendidikan di sana.
Di satu sisi, ada sistem sekolah nasional yang mirip dengan banyak negara lain. Di sini, kurikulumnya berfokus pada mata pelajaran umum seperti sains, matematika, bahasa Inggris, sejarah, dan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Sekolah-sekolah ini dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang kompeten dan siap bersaing di era modern. Banyak siswa dari berbagai latar belakang etnis dan agama belajar bersama di sini, membentuk persatuan dalam keberagaman.
Namun, di sisi lain, pendidikan agama punya posisi yang kuat, terutama pendidikan Islam. Ada banyak sekolah agama, atau yang sering disebut sekolah rendah agama (SRA) dan sekolah menengah agama (SMA), yang menawarkan kurikulum berbasis agama Islam secara mendalam. Di sekolah-sekolah ini, selain pelajaran umum, porsi pelajaran agama seperti Al-Quran, Hadis, Fiqh, dan Sejarah Islam sangat besar. Bahkan, ada juga madrasah swasta yang kurikulumnya lebih dominan ke arah agama.
Dualisme ini sebenarnya punya akar sejarah yang panjang di Malaysia. Dengan mayoritas penduduk Muslim, kebutuhan akan pendidikan agama yang kuat itu sangat terasa. Para orang tua ingin anak-anak mereka tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga punya pemahaman agama yang mendalam dan berakhlak mulia. Maka, muncullah sistem ini sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Tentunya, sistem sekolah ganda ini punya kelebihan dan tantangannya sendiri. Kelebihannya, siswa punya pilihan yang lebih luas sesuai dengan minat dan nilai-nilai keluarga mereka. Mereka bisa mendapatkan pendidikan umum yang komprehensif sekaligus memperdalam ilmu agama. Namun, tantangannya adalah bagaimana menyelaraskan kedua sistem ini agar tidak terjadi kesenjangan kualitas atau bahkan "polaritas" di antara para lulusannya. Ada kekhawatiran tentang standar kurikulum, ketersediaan guru yang berkualitas, dan bagaimana siswa dari sistem agama ini bisa berintegrasi dengan baik di jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau di dunia kerja yang lebih umum.
Pemerintah Malaysia sendiri terus berupaya mencari jalan tengah. Mereka seringkali mencoba untuk menyelaraskan kurikulum agama dengan kurikulum nasional, atau mendorong integrasi pelajaran agama ke dalam sekolah nasional, setidaknya sebagai mata pelajaran pilihan. Tujuannya adalah agar semua siswa, apapun jalur pendidikan yang mereka pilih, bisa mendapatkan pendidikan yang holistik dan relevan. Ini adalah sebuah perjalanan panjang yang terus berlanjut, menunjukkan bagaimana sebuah negara berjuang untuk menyeimbangkan identitas budaya dan agama dengan tuntutan modernisasi global.