Lemhanas Soroti Risiko Anak Jadi Petantang-petenteng Usai Jalani Pendidikan Karakter di Barak Militer
Tanggal: 19 Mei 2025 09:55 wib.
Tampang.com | Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Ace Hasan Syadzily, mengingatkan perlunya evaluasi serius terhadap program pendidikan karakter bagi siswa bermasalah yang dilaksanakan di barak militer. Ace menyoroti potensi risiko justru membentuk karakter anak yang menyimpang, seperti sikap petantang-petenteng, setelah mereka menjalani program tersebut.
Dikutip dari Antara, Minggu (18/5/2025), Ace mempertanyakan efektivitas metode pelatihan militer yang diterapkan pada anak-anak nakal. “Apakah setelah keluar dari barak militer mereka benar-benar bebas dari kenakalannya? Atau justru karena mental dan emosional mereka tidak dibentuk dengan tepat, mereka malah menjadi sosok yang arogan dan berperilaku di luar perkembangan anak yang normal,” ujarnya saat berbicara di Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Sabtu (17/5).
Ace menegaskan bahwa pendidikan dan pembinaan karakter anak membutuhkan pendekatan yang komprehensif, yang mempertimbangkan faktor keluarga, lingkungan, dan pengalaman hidup. Menurutnya, program pelatihan militer saja tidak cukup untuk mengatasi persoalan perilaku anak.
Sebagai langkah lanjutan, Lemhanas berencana melakukan kajian mendalam terkait program tersebut untuk memastikan intervensi yang dilakukan tetap mengedepankan perlindungan dan kesejahteraan anak. “Anak adalah tanggung jawab bersama, dan setiap intervensi harus menempatkan prinsip perlindungan anak sebagai prioritas utama,” tegas Ace.
Selain itu, Ace mengingatkan pentingnya berhati-hati dalam menggunakan istilah “anak nakal.” Label tersebut bisa memicu stigmatisasi yang justru menghambat perkembangan positif anak. “Kita harus melihat akar persoalan kenapa anak disebut ‘nakal’. Bisa jadi karena pola asuh, lingkungan, atau kondisi keluarga yang perlu dipahami lebih dalam,” jelasnya.
Ace menambahkan bahwa negara tidak hanya bertugas mendidik, tetapi juga memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara emosional dan sosial. “Jangan sampai program pembentukan karakter malah menjadi sumber stigma yang merugikan masa depan mereka,” pungkasnya.