KPAI Soroti Pengiriman Siswa Nakal ke Barak Militer: Minim Asesmen, Berpotensi Langgar Hak Anak
Tanggal: 17 Mei 2025 21:43 wib.
Tampang.com | Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyuarakan keprihatinan mendalam terkait praktik pengiriman siswa yang dianggap nakal ke barak militer. Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menyebutkan bahwa program ini menyimpan potensi pelanggaran terhadap hak anak, terutama karena tidak selalu didahului oleh asesmen psikologis yang jelas dan profesional.
Ai menegaskan, berdasarkan hasil pemantauan KPAI, terdapat anak-anak yang dikirim ke barak militer tanpa mengetahui alasan mereka berada di sana. “Sebanyak 6,7 persen anak yang kami temui tidak tahu kenapa mereka dikirim ke barak. Ini menunjukkan minimnya transparansi dan potensi pelanggaran hak-hak anak,” ungkap Ai, Sabtu (17/5/2025).
Tak hanya itu, KPAI juga mencatat adanya praktik pengancaman oleh guru bimbingan konseling (BK). Dalam beberapa kasus, siswa yang menolak mengikuti program barak disebut-sebut akan mendapatkan konsekuensi berat, seperti tidak naik kelas. “Ancaman ini ditemukan saat wawancara kami dengan siswa di Purwakarta dan Lembang,” ujar Wakil Ketua KPAI Jasra Putra.
Lebih lanjut, Jasra mengungkapkan kekhawatiran atas lemahnya proses evaluasi sebelum siswa dikirim ke barak. Di tiga sekolah di Purwakarta, KPAI bahkan menemukan bahwa sekolah tidak memiliki guru BK, namun tetap mengirim siswa ke barak. “Kami mempertanyakan siapa yang menentukan kriteria ‘nakal’ itu? Tanpa rujukan dari psikolog profesional, ini bisa jadi bentuk penilaian sepihak,” tambahnya.
Jasra juga menyoroti akar permasalahan yang sering kali bersumber dari kurangnya layanan konseling baik di sekolah maupun di rumah. Menurutnya, keterbatasan jumlah psikolog, pekerja sosial, dan guru BK berdampak langsung pada efektivitas penanganan perilaku menyimpang pada anak.
KPAI mendorong pemerintah daerah dan sekolah untuk memastikan setiap tindakan pembinaan siswa didasarkan pada pendekatan profesional, transparan, dan tidak melanggar hak asasi anak. Pendekatan militer tanpa dasar yang kuat bisa berisiko memperburuk kondisi psikologis anak, alih-alih menjadi solusi pendidikan.