Korea Selatan: Tekanan Akademik dan Budaya Belajar yang Ketat
Tanggal: 24 Mei 2025 08:38 wib.
Ketika kita bicara soal Korea Selatan, mungkin yang langsung terbayang adalah K-Pop, drama Korea, atau teknologi canggih. Tapi di balik gemerlap itu, ada satu sisi yang tak kalah menarik, sekaligus bikin geleng-geleng kepala: sistem pendidikan Korea yang terkenal super ketat dan penuh tekanan. Seolah-olah, semua anak di sana memang didesain untuk menjadi yang terbaik, apa pun harganya.
Bayangkan saja, seorang siswa di Korea Selatan rata-rata menghabiskan waktu belajar yang luar biasa panjang. Dari pagi sampai sore di sekolah reguler, setelah itu langsung lanjut ke hagwon atau lembaga bimbingan belajar swasta hingga larut malam. Pulang ke rumah, bukannya istirahat, mereka masih harus melanjutkan belajar mandiri sampai dini hari. Hidup mereka seolah didikte oleh buku pelajaran dan jadwal yang padat. Ini bukan lagi soal rajin, tapi sudah menjadi budaya belajar yang ketat yang mengakar kuat di masyarakat.
Pangkal dari semua tekanan belajar ini adalah satu gerbang penentu masa depan: ujian masuk universitas yang dikenal dengan nama Suneung atau College Scholastic Ability Test (CSAT). Ujian ini bukan sekadar ujian biasa, melainkan penentu segalanya. Lulus dengan nilai tinggi dan diterima di universitas bergengsi, terutama tiga universitas papan atas yang disebut "SKY" (Seoul National, Korea, dan Yonsei Universities), adalah jaminan status sosial, pekerjaan mapan, bahkan seringkali juga jodoh. Gagal di Suneung bisa diibaratkan sebagai pukulan telak yang meruntuhkan harapan dan masa depan seseorang.
Makanya, tak heran jika seluruh lapisan masyarakat Korea Selatan seolah berhenti sejenak saat Suneung tiba. Penerbangan dihentikan sementara, lalu lintas diatur sedemikian rupa agar siswa tidak terlambat, bahkan para polisi ikut turun tangan mengantar siswa yang terjebak macet. Ini menunjukkan betapa sakral dan menentukan ujian tersebut. Tekanan untuk lolos dan masuk ke universitas impian begitu besar, bukan hanya dari diri sendiri, tetapi juga dari orang tua, keluarga besar, dan masyarakat luas.
Orang tua di Korea Selatan punya peran besar dalam lingkaran tekanan ini. Mereka rela mengeluarkan biaya besar untuk mengirim anak-anaknya ke hagwon terbaik, membeli buku-buku penunjang, bahkan tak jarang ada yang pindah rumah demi mendekatkan anak ke sekolah atau hagwon favorit. Investasi pendidikan dianggap sebagai investasi terbaik untuk masa depan anak. Ekspektasi yang tinggi ini, ditambah dengan persaingan yang begitu sengit, membuat siswa terus-menerus merasa tertekan dan harus berjuang keras melebihi batas kemampuannya.
Dampak dari sistem ini, tentu saja, tidak selalu positif. Memang, Korea Selatan berhasil mencetak generasi yang sangat cerdas, disiplin, dan pekerja keras. Mereka punya tingkat literasi yang tinggi dan mampu bersaing di kancah global. Namun, di sisi lain, tekanan akademik yang ekstrem ini juga membawa konsekuensi serius bagi kesehatan mental siswa. Angka stres, kecemasan, depresi, bahkan kasus bunuh diri di kalangan remaja Korea Selatan cukup memprihatinkan. Mereka sering kekurangan tidur, tidak punya waktu luang untuk bersosialisasi atau mengembangkan minat di luar akademik, dan merasa kebahagiaan mereka direnggut oleh jadwal belajar yang padat.
Beberapa upaya reformasi memang sudah dilakukan pemerintah Korea Selatan untuk mengurangi tekanan ini, namun dampaknya belum signifikan. Budaya kompetisi yang sudah mendarah daging dan pandangan masyarakat yang masih sangat mengagungkan gelar akademik membuat perubahan menjadi sulit.
Pada akhirnya, sistem pendidikan Korea menawarkan gambaran yang kompleks. Di satu sisi, ia adalah mesin pencetak talenta-talenta unggul yang membawa Korea Selatan maju pesat. Di sisi lain, ia juga menciptakan lingkungan yang sangat menantang, di mana generasi muda harus berjuang keras dengan beban ekspektasi yang luar biasa berat. Ini menjadi cerminan bahwa kesuksesan akademik seringkali datang dengan harga yang tidak murah.