Kontroversi Pernyataan Kemendikbud Ristek Soal Kuliah Tersier, Mengukir Luka atau memberi Asa?

Tanggal: 20 Mei 2024 07:05 wib.
Pernyataan dari petinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang menyebut bahwa kuliah bersifat tersier telah menuai polemik di tengah masyarakat. Pernyataan kontroversial ini dilontarkan oleh Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Tjahjandarie, dalam tanggapannya terhadap mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN).

Menurut laporan dari Kompas.com pada Rabu (15/5/2024), Tjitjik menyampaikan bahwa pendidikan tinggi hanya ditujukan bagi lulusan SMA, SMK, dan madrasah aliyah yang ingin mengeksplorasi lebih dalam dalam suatu bidang ilmu. Namun, ia juga menegaskan bahwa tidak semua lulusan SMA, SMK, dan madrasah aliyah harus melanjutkan studi ke perguruan tinggi karena itu adalah pilihan. Ia menunjukkan pendapatnya dengan mengatakan, "Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar."

Pernyataan tersebut langsung menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pernyataan tersebut. Menurutnya, pernyataan ini tidak semestinya dilontarkan oleh pemerintah karena mengingat bahwa pendidikan merupakan hak yang harus dipenuhi bagi seluruh warga negara Indonesia. "Saya kira tidak semestinya pemerintah menyampaikan pernyataan seperti itu. Secara normatif memang wajib belajar hanya sampai tingkat pendidikan menengah. Namun, ini adalah batas minimal kewajiban pemerintah untuk memastikan pendidikan bagi warga negara," tegasnya kepada Kompas.com pada Jumat (17/5/2024).

Hetifah juga menekankan bahwa pemerintah seharusnya mendukung tingginya minat masyarakat terhadap pendidikan. Hal ini sejalan dengan peran pemerintah dalam mendistribusikan anggaran negara secara merata kepada semua sektor penting, termasuk pendidikan. "Apabila hasrat masyarakat untuk meningkatkan diri melalui pendidikan tinggi semakin meningkat, pemerintah seharusnya responsif dalam menanggapinya dengan kebijakan yang tepat," tambah Hetifah.

Kritik juga disampaikan oleh pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, yang menilai bahwa menempatkan kuliah sebagai kebutuhan tersier adalah kesalahan besar. Ia menegaskan bahwa pendidikan tinggi bukanlah hanya sebuah kebutuhan tersier, dan menyatakan, "Ibu Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier, mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah."

Pernyataan kontroversial ini turut mendapat kecaman dari berbagai pihak yang memandangnya sebagai pembenaran atas mahalnya biaya pendidikan tinggi. Selain itu, banyak yang memandangnya sebagai upaya untuk membatasi akses terhadap pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi hak bagi setiap warga negara.

Menyikapi hal ini, penting untuk melihat bahwa akses pendidikan tinggi yang terbuka dan merata memiliki peran penting dalam memajukan sebuah bangsa. Sebuah pembangunan yang merata dan berkelanjutan akan sulit terwujud tanpa partisipasi aktif dari masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa akses terhadap pendidikan tinggi tidak hanya menjadi hak belaka, tetapi juga merupakan sebuah kebutuhan yang dapat mendukung perkembangan bangsa ke arah yang lebih baik.

Sebagai upaya penyelarasan dengan kebutuhan masyarakat, pemerintah perlu menggelontorkan sumber daya dan anggaran yang cukup demi mendukung akses yang merata terhadap pendidikan tinggi. Kebijakan dan langkah-langkah strategis juga perlu diambil untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang adil untuk menjalani pendidikan tinggi sesuai dengan minat dan potensi yang dimiliki.

Dalam menghadapi pernyataan yang kontroversial ini, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan mengambil langkah yang tepat demi memperkuat peran pendidikan tinggi dalam memajukan bangsa. Diperlukan komitmen kuat dan kebijakan yang inklusif untuk memastikan bahwa setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama dalam mengejar cita-cita pendidikan tinggi.

Dalam merespons kritik dan polemik yang muncul sebagai akibat dari pernyataan Tjitjik, Kemendikbud Ristek perlu melakukan komunikasi yang lebih efektif dengan masyarakat dan stakeholder terkait. Mendengarkan suara masyarakat dan tercerminnya kebutuhan riil masyarakat dalam kebijakan yang diambil dapat menjadi langkah yang positif dalam meredakan ketegangan yang muncul. 

polemik yang muncul akibat pernyataan kontroversial ini menyerukan pentingnya peran pemerintah dalam memastikan akses pendidikan tinggi yang merata dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Peranan pendidikan tinggi dalam pembangunan bangsa sangatlah vital dan oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan kebijakan yang menyeimbangkan antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan negara dalam memajukan pendidikan tinggi yang berkualitas.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved