Kolegium Kedokteran Harus Tetap Independen, Jangan di Bawah Kendali Pemerintah
Tanggal: 20 Mei 2025 22:48 wib.
Tampang.com | Keberadaan kolegium kedokteran yang kini berada di bawah pengawasan pemerintah menuai kritik tajam dari para guru besar dan mahasiswa kedokteran. Mereka menilai, kolegium kedokteran harus tetap berdiri sebagai lembaga ilmiah yang independen, bukan tunduk kepada penguasa politik atau birokrasi.
Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, Guru Besar Emeritus Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga, menegaskan bahwa kolegium kedokteran hanya boleh tunduk pada kaidah ilmiah dan harus bebas dari intervensi kekuasaan apapun. “Ilmu kedokteran harus otonom dan independen, tidak boleh dipengaruhi oleh penguasa negara, penguasa uang, maupun kepentingan lainnya,” ujarnya dalam jumpa pers acara Salemba Bergerak: Mimbar Bebas Hari Kebangkitan Nasional di Gedung FKUI, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Djohansjah menjelaskan bahwa kolegium merupakan badan yang mengelola cabang-cabang ilmu kedokteran dan memastikan standar keilmuan tetap terjaga tanpa bias. “Ilmu ini tidak boleh diintervensi agar kebenarannya tetap terjaga dan tidak dipengaruhi kepentingan pribadi atau politik,” tambahnya.
Sesuai Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, pemerintah memiliki kewenangan mengatur kolegium. Namun, Djohansjah mengkritik bahwa pengambilalihan ini bertentangan dengan prinsip independensi keilmuan. “Pengambilalihan kolegium oleh badan politik melawan kaidah ilmiah yang selama ini kita junjung tinggi,” katanya.
Pernyataan senada datang dari Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (BEM FKUI), Muhammad Thoriq. Ia menilai bahwa jika kolegium dikendalikan pemerintah, risiko politisasi sangat besar dan hal itu justru berpotensi merusak kualitas keilmuan yang selama ini dijaga para ahli. “Kolegium seharusnya diisi oleh para ahli yang kompeten, bukan oleh pejabat atau birokrat yang tidak relevan dengan bidangnya,” ujar Thoriq.
Kolegium kedokteran sendiri merupakan badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk mengawasi disiplin ilmu kedokteran tertentu. Anggotanya terdiri dari guru besar, ketua program studi, dan para pakar pendidikan kedokteran.
Dari sisi pemerintah, Kementerian Kesehatan beralasan pengaturan kolegium perlu dilakukan untuk menghindari monopoli elite tertentu yang selama ini menguasai organisasi profesi. Staf Khusus Menteri Kesehatan, Rendi Witular, menyatakan, “Sebelumnya, kolegium dikuasai oleh segelintir elite yang menentukan kurikulum dan standar pelayanan. Oleh karena itu, sudah seharusnya kewenangan ini berada di tangan pemerintah.”
Isu pengambilalihan kolegium juga memicu kontroversi internal. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim B. Yanuarso, mengaku dimutasi karena menolak kebijakan tersebut. Namun, Kemenkes membantah tuduhan perampasan, menegaskan bahwa kolegium memang secara hukum berada di bawah pengawasan negara.
Di sisi lain, para guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) kecewa dengan cara Kemenkes melaksanakan pemilihan anggota kolegium yang dianggap tidak transparan dan tidak sesuai dengan mekanisme voting yang ada. Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, menyampaikan bahwa keputusan Kemenkes lebih banyak didasarkan pada kehendak birokrasi daripada suara terbanyak dari voting.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya independensi lembaga ilmiah yang menjadi penentu standar pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran di Indonesia.