Sumber foto: Pinterest

Ketika AI Bikin Malas Belajar: Ancaman Nyata untuk Generasi Pelajar

Tanggal: 22 Mei 2025 10:12 wib.
Tren penggunaan Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan dalam berbagai lini kehidupan memang sedang melambung. Dari pekerjaan kantoran sampai hiburan, AI seolah jadi solusi instan untuk banyak hal. Nggak heran, AI juga mulai merambah dunia pendidikan, bahkan seringkali jadi "penyelamat" dadakan bagi para pelajar yang dikejar tugas. Tapi, di balik segala kemudahan yang ditawarkan, ada satu kekhawatiran besar: jangan-jangan AI ini justru bikin pelajar jadi malas, alias jadi ancaman nyata untuk generasi kita?

Dulu, kalau ada tugas esai atau makalah, kita harus pusing-pusing mikir, baca buku tebal, cari referensi di perpustakaan, lalu merangkai kata demi kata. Proses ini melatih kemampuan berpikir kritis, analisis, dan juga kreativitas. Sekarang? Tinggal buka platform AI, masukkan prompt yang relevan, dan boom! Esai jadi dalam hitungan detik. Kedengarannya memang efisien, tapi di sinilah masalahnya muncul. Ketika semua bisa disajikan secara instan, lantas, apa yang tersisa dari proses belajar itu sendiri?

Ancaman pertama adalah munculnya "kemalasan berpikir". Kenapa harus susah-susah mikir atau menganalisis kalau AI bisa melakukannya? Otak kita dirancang untuk beradaptasi. Kalau terus-menerus disuguhi jalan pintas, perlahan tapi pasti, kemampuan berpikir mandiri, memecahkan masalah, dan mencari solusi akan tumpul. Pelajar jadi terbiasa menunggu instruksi dan hasil dari AI, bukan mencari tahu atau menciptakan sendiri. Ini seperti otot yang jarang dilatih; lama-lama akan lemah dan tidak berfungsi optimal.

Kedua, ada risiko ketergantungan teknologi yang berlebihan. Mirip seperti anak muda zaman sekarang yang nggak bisa lepas dari smartphone, pelajar bisa jadi sangat tergantung pada AI untuk semua urusan akademis. Begitu AI tidak tersedia, mereka akan gagap. Kemampuan dasar seperti menulis dengan tangan, berhitung manual, atau bahkan mencari informasi dari buku fisik bisa jadi barang langka. Padahal, dunia nyata tidak selalu menyediakan AI untuk setiap masalah. Kemampuan bertahan dan berinovasi tanpa bantuan teknologi adalah skill esensial yang harus dimiliki.

Ketiga, soal pemahaman materi. Ketika tugas dikerjakan oleh AI, apakah pelajar benar-benar memahami isinya? Mungkin saja mereka bisa menjelaskan kembali apa yang AI hasilkan, tapi apakah itu berasal dari pemahaman mendalam yang dibangun lewat proses riset dan analisis pribadi? Seringkali tidak. Mereka hanya menghafal apa yang AI "ajarkan". Ini tentu beda jauh dengan proses belajar yang melibatkan otak secara aktif, membuat koneksi antar ide, dan membangun pemahaman yang solid. Hasilnya, nilai mungkin bagus, tapi kualitas pemahaman nol.

Tentu saja, bukan berarti kita harus alergi total terhadap AI. AI adalah alat yang kuat, dan jika digunakan dengan bijak, bisa jadi peluang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Masalahnya adalah bagaimana kita mengelola "kecanduan" terhadap kemudahan yang ditawarkan AI. Peran guru dan orang tua di sini sangat krusial. Guru perlu mengajarkan cara menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti otak. Misalnya, AI bisa dipakai untuk mencari ide awal, merangkum materi, atau bahkan mengecek tata bahasa, tapi proses inti seperti analisis dan sintesis harus tetap dilakukan oleh siswa.

Pendidikan juga perlu bergeser. Mungkin sudah saatnya kita tidak lagi terlalu fokus pada hasil akhir berupa nilai, tapi lebih pada proses pembelajaran dan pengembangan skill kritis. Guru bisa merancang tugas yang tidak mudah diselesaikan oleh AI, atau tugas yang menuntut kolaborasi dan kreativitas yang khas manusia.

Singkatnya, AI memang membawa banyak potensi positif untuk pendidikan. Tapi, kita juga harus sadar bahwa ada ancaman nyata di baliknya: kemalasan belajar dan ketergantungan. Jika tidak dikelola dengan bijak, AI bisa jadi bumerang yang justru merugikan generasi pelajar kita. Mari kita gunakan AI sebagai alat untuk memperkaya, bukan mempersempit kemampuan berpikir dan belajar anak-anak kita.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved