Hal-hal yang Dilarang Ketika Mengajarkan Anak Berbicara
Tanggal: 25 Agu 2025 23:01 wib.
Mengajarkan anak berbicara adalah salah satu fase paling penting dalam perkembangannya. Ini bukan sekadar tentang melafalkan kata-kata, melainkan tentang membangun fondasi komunikasi yang akan ia gunakan sepanjang hidupnya. Namun, tanpa disadari, banyak orang tua atau pengasuh yang melakukan kesalahan yang justru bisa menghambat proses ini. Memahami hal-hal yang sebaiknya dihindari bisa jadi kunci untuk menciptakan lingkungan belajar yang suportif dan efektif, sehingga anak bisa tumbuh menjadi pembicara yang percaya diri.
Jangan Memaksakan Anak Berbicara
Salah satu kesalahan terbesar adalah memaksa anak untuk berbicara atau mengulang kata. Setiap anak memiliki kecepatan perkembangan yang berbeda-beda. Beberapa anak mungkin sudah bisa mengucapkan banyak kata di usia satu tahun, sementara yang lain mungkin butuh waktu lebih lama. Memaksa anak di depan umum, misalnya dengan mengatakan, "Ayo, bilang 'terima kasih' ke Om," hanya akan menciptakan tekanan dan kecemasan.
Tekanan semacam ini bisa membuat anak merasa malu, frustrasi,asi, dan bahkan menarik diri dari upaya berkomunikasi. Mereka bisa mengasosiasikan berbicara dengan perasaan negatif. Alih-alih memaksa, lebih baik berikan contoh. Ucapkan kata-kata yang sama dengan nada yang ramah dan tunggu sampai anak merasa nyaman untuk mencoba sendiri. Biarkan proses ini berjalan alami, tanpa paksaan.
Jangan Menggunakan Bahasa "Bayi" atau Baby Talk
Saat berbicara dengan anak, banyak orang tua tanpa sadar menggunakan bahasa bayi atau baby talk, seperti mengucapkan "mamam" untuk makan atau "cucuk" untuk susu. Meskipun terdengar lucu dan menggemaskan, kebiasaan ini sebenarnya bisa menghambat perkembangan bahasa anak. Anak belajar dengan meniru. Jika orang tua selalu menggunakan bahasa yang tidak tepat, anak akan kesulitan belajar pelafalan dan tata bahasa yang benar.
Alih-alih menyederhanakan kata, gunakan kata-kata yang tepat dan lengkap. Misalnya, ucapkan "Makan" atau "Mau makan?" alih-alih "Mamam?". Bicaralah dengan kalimat utuh dan jelas. Hal ini akan membantu anak memahami struktur kalimat dan memperkaya kosakata mereka. Tentu saja, intonasi yang hangat dan ekspresi wajah yang ceria tetap penting untuk menjaga komunikasi tetap menyenangkan.
Jangan Mengoreksi Setiap Kesalahan Anak
Saat anak sedang belajar, ia pasti akan melakukan kesalahan, baik dalam pelafalan maupun susunan kalimat. Mengoreksi setiap kesalahan yang ia buat secara langsung dan berulang-ulang bisa membuat anak merasa tidak termotivasi. Misalnya, saat anak mengucapkan "mau dedeh" untuk "mau main sepeda", jangan langsung bilang, "Salah! Bilangnya 'sepeda', bukan 'dedeh'."
Pendekatan yang lebih efektif adalah dengan mengulang kalimat anak dengan cara yang benar, tanpa mengoreksinya secara langsung. Misalnya, saat anak berkata, "Mau dedeh," kita bisa menjawab, "Oh, mau main sepeda ya? Ayo kita naik sepeda!" Dengan cara ini, anak tetap mendapatkan contoh yang benar tanpa merasa malu atau salah. Anak akan belajar secara tidak langsung dan lebih termotivasi untuk mencoba lagi.
Jangan Mengabaikan Upaya Komunikasi Nonverbal Anak
Sebelum anak bisa berbicara, ia sudah berusaha berkomunikasi dengan cara lain. Menunjuk, melambaikan tangan, mengangguk, atau menggelengkan kepala adalah bentuk komunikasi nonverbal. Mengabaikan atau tidak merespons isyarat ini bisa membuat anak merasa pesannya tidak penting. Padahal, isyarat-isyarat ini adalah langkah awal yang sangat penting dalam proses belajar berbicara.
Saat anak menunjuk botol minum, segera tanggapi dengan, "Oh, mau minum ya? Ini botolnya." Dengan merespons isyarat ini, kita menunjukkan bahwa kita memahami pesan mereka dan mendorong mereka untuk terus berusaha. Selain itu, ini juga membangun kepercayaan bahwa kita adalah partner komunikasi yang bisa diandalkan, yang nantinya akan memotivasi mereka untuk mencoba mengucapkan kata-kata.
Jangan Terlalu Banyak Menggunakan Gawai atau TV
Paparan berlebihan pada layar, baik itu gawai atau TV, seringkali dianggap sebagai alat bantu belajar bahasa. Kenyataannya, interaksi satu arah dari layar tidak seefektif interaksi tatap muka. Anak belajar berbicara melalui dialog, yaitu dengan mendengarkan respons dari lawan bicara dan mempraktikkan hal yang sama. Gawai atau TV tidak bisa memberikan respons yang personal.
Terlalu banyak waktu di depan layar juga bisa mengurangi waktu berinteraksi dengan orang tua atau pengasuh. Waktu yang seharusnya digunakan untuk bermain, membaca buku, atau mengobrol justru dihabiskan untuk menatap layar. Batasi waktu layar dan alihkan dengan kegiatan yang melibatkan interaksi langsung. Membacakan buku dengan intonasi menarik, bercerita, atau bermain pura-pura adalah cara yang jauh lebih efektif untuk merangsang kemampuan bahasa anak.