Guru Besar Fakultas Kedokteran Kritik Kebijakan PPDS Berbasis Rumah Sakit, Khawatirkan Mutu Pendidikan
Tanggal: 20 Mei 2025 22:42 wib.
Tampang.com | Kebijakan Pendidikan Profesi Dokter Spesialis (PPDS) berbasis rumah sakit yang diterapkan Kementerian Kesehatan dinilai oleh para guru besar Fakultas Kedokteran di Indonesia sebagai solusi yang kurang tepat untuk mengatasi kekurangan tenaga medis spesialis. Pernyataan ini disampaikan oleh Prof. Yulianto, perwakilan Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Indonesia, dalam acara Salemba Bergerak: Mimbar Bebas Hari Kebangkitan Nasional di Gedung FKUI, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Menurut Prof. Yulianto, membuka jalur pendidikan dokter spesialis di luar universitas melalui rumah sakit yang ditunjuk sebagai Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) bukanlah solusi ideal. Ia menilai langkah ini terkesan instan dan berisiko menurunkan kualitas pendidikan dokter spesialis di tanah air. "Pendidikan dokter spesialis di luar sistem universitas berpotensi menciptakan kesenjangan kompetensi yang membahayakan keselamatan pasien," ujarnya saat membacakan Surat Pernyataan Keprihatinan para guru besar.
Selain itu, Prof. Yulianto menyoroti bahwa mekanisme penetapan RSPPU dalam kebijakan ini dilakukan dengan proses yang minim transparansi dan akuntabilitas. Ia menegaskan perlunya seleksi bersama, kurikulum terstruktur, akreditasi yang jelas, serta staf pengajar yang kompeten dan berpengalaman dalam pendidikan dokter spesialis. Semua unsur tersebut dianggap krusial agar mutu pendidikan tetap terjaga.
Sejalan dengan itu, Guru Besar FKUI, Siti Setiati, menambahkan bahwa aturan-aturan pemerintah yang memungkinkan pendidikan dokter di luar sistem universitas perlu sinergi kuat dengan fakultas kedokteran. Jika tidak, kebijakan ini justru dapat menimbulkan disparitas kualitas antar dokter dan meningkatkan risiko kesalahan dalam pelayanan kesehatan, yang akhirnya merugikan masyarakat luas.
Kebijakan PPDS berbasis rumah sakit ini mulai diterapkan oleh Kemenkes pada 12 Agustus 2024 sebagai respons atas kekurangan dokter spesialis di Indonesia yang mencapai sekitar 29.000 tenaga medis. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menjelaskan bahwa Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 2.700 dokter spesialis tiap tahun, sehingga butuh waktu bertahun-tahun untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Program ini menitikberatkan pada pemerataan dokter spesialis di berbagai daerah yang masih minim tenaga spesialis, terutama di wilayah-wilayah terpencil. “Konsep ini unik di Indonesia, berbeda dengan negara lain di mana dokter spesialis biasanya bekerja dulu dan kemudian menempuh pendidikan spesialis sambil bekerja,” jelas Budi dalam peluncuran program di RSAB Harapan Kita pada Mei 2024.
Meski tujuan pemerintah jelas, para guru besar kedokteran tetap mengingatkan agar kualitas pendidikan dan keselamatan pasien harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pendidikan kedokteran di Indonesia.