Sumber foto: Google

Gaji Rendah, Dosen ASN di Daerah Terjebak Utang dan Depresi

Tanggal: 5 Feb 2025 09:10 wib.
Polemik terkait tunjangan kinerja (tukin) yang tak kunjung dibayarkan bagi dosen ASN di lingkungan Kemendiktisaintek sejak tahun 2020 hingga 2024 kini semakin menjadi sorotan. Masalah ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan para dosen, tetapi juga mengarah pada tekanan ekonomi yang ekstrem, utang menumpuk, bahkan depresi.

Ketua Koordinator Nasional Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI), Anggun Gunawan, menyampaikan bahwa banyak dosen, khususnya di daerah, kini mengalami kesulitan finansial yang serius. Bahkan, ada yang mempertimbangkan tindakan nekat akibat tekanan ekonomi yang berat.

"Kami menerima banyak laporan bahwa para dosen mengalami kesulitan finansial akut. Mereka harus berutang untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan beberapa bahkan mengalami gangguan kesehatan mental akibat tekanan ekonomi yang luar biasa," ujar Anggun dalam pernyataannya.

Menurut Anggun, gaji dosen ASN di daerah sangat rendah, terutama bagi mereka yang baru diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Dosen lajang menerima gaji sekitar Rp2,3 juta per bulan
Dosen yang sudah berkeluarga menerima Rp2,7 juta hingga Rp2,9 juta per bulan

Dengan angka tersebut, banyak dosen yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi, mereka masih harus membiayai kebutuhan riset, pendidikan lanjutan, dan pengembangan akademik yang kerap kali tidak mendapat dukungan dana memadai dari pemerintah.

"Harapan untuk meningkatkan ekonomi keluarga menjadi sangat sulit, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi pun banyak yang tidak mencukupi. Akibatnya, mereka terpaksa berutang untuk bertahan hidup," tambah Anggun.

Selain masalah gaji, para dosen ASN juga menghadapi berbagai tantangan lainnya, seperti:


Beban administrasi yang tinggi, Banyak dosen harus menangani tugas birokrasi yang kompleks, selain tugas mengajar dan penelitian.
Minimnya fasilitas di daerah, Dosen di daerah sering kali bekerja di lingkungan dengan fasilitas terbatas, baik dari segi laboratorium, perpustakaan, maupun dukungan riset.
Tertundanya tunjangan kinerja, Tukin yang tidak dibayarkan selama empat tahun memperparah kondisi ekonomi para dosen.
Tekanan mental dan sosial, Tidak sedikit dosen yang merasa putus asa dan kehilangan motivasi karena kesulitan ekonomi yang terus berlanjut.


Seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah, yang enggan disebutkan namanya, mengaku bahwa ia harus mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup.

"Saya terpaksa mengajar les privat dan menjadi penerjemah lepas agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Kalau hanya mengandalkan gaji dosen, sangat sulit untuk bertahan," ujarnya.

Desakan agar Pemerintah Bertindak

Melihat kondisi ini, ADAKSI mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan masalah kesejahteraan dosen ASN. Beberapa tuntutan utama yang diajukan adalah:


Pembayaran tunjangan kinerja (tukin) yang tertunda sejak 2020 hingga 2024.
Peningkatan gaji pokok bagi dosen ASN, terutama di daerah, agar sesuai dengan standar hidup layak.
Penyediaan fasilitas pendukung yang memadai bagi dosen di seluruh Indonesia.
Pengurangan beban administrasi agar dosen bisa lebih fokus pada pengajaran dan penelitian.


"Kami berharap pemerintah tidak menutup mata terhadap kesulitan yang dialami para dosen, terutama di daerah. Pendidikan tinggi berkualitas tidak akan tercapai jika kesejahteraan para pendidiknya sendiri tidak diperhatikan," tutup Anggun.

Masalah kesejahteraan dosen ASN di daerah kini menjadi perhatian serius. Dengan gaji rendah, tunjangan kinerja yang belum dibayarkan, serta tekanan hidup yang berat, banyak dosen terjebak dalam utang dan mengalami depresi. Jika tidak ada tindakan nyata dari pemerintah, bukan tidak mungkin kualitas pendidikan tinggi di Indonesia akan semakin menurun.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved