Sumber foto: The Globe and Mail

Donald Trump Salah Kaprah! Tikus Transgenik Dikira Transgender, Netizen Ngakak

Tanggal: 8 Mar 2025 14:03 wib.
Dalam pidato yang disampaikan di hadapan Kongres Amerika Serikat, Presiden Donald Trump baru-baru ini menjadi bahan tertawaan publik. Hal ini terjadi ketika Trump salah memahami sebuah penelitian yang melibatkan tikus transgenik, yang ia anggap sebagai upaya untuk menciptakan tikus transgender. Momen konyol ini merupakan salah satu dari sekian banyak pernyataan sensasional Trump yang cenderung menarik perhatian.

Trump memanfaatkan momen tersebut untuk menyerang pemerintahan Presiden Joe Biden, khususnya menyoroti satu proyek yang dianggarkan sebesar US$ 8 juta untuk “menciptakan tikus transgender”. Dalam pidato tersebut, Trump juga memuji Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang dipimpin oleh Elon Musk, yang konon bertugas untuk memperbaiki belanja modal dalam pemerintah.

Namun, klaim Trump ini segera mendapat perhatian media, seperti CNN International, yang melakukan cek fakta berdasarkan siaran pers dari Gedung Putih. Dalam siaran tersebut, terdapat informasi mengenai berbagai macam penelitian yang dibiayai dengan total anggaran mencapai US$ 8,3 juta dan berhubungan dengan perawatan terkait gender. Fokus perhatian Trump tampaknya tertuju pada salah satu penelitian yang berupaya memahami "mekanisme peradangan untuk jenis kelamin tertentu yang dikendalikan oleh hormon." Yang menarik, penelitian ini sendiri memperoleh pendanaan federal sebesar US$ 3 juta.

Selain itu, di dalam daftar penelitian yang dipublikasikan oleh Gedung Putih juga terdapat proyek lain senilai US$ 1,2 juta yang menggunakan tikus transgenik, namun sekali lagi, bukan tikus transgender. Hal ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam memahami istilah yang digunakan, di mana “transgenik” dan “transgender” memiliki arti dan konteks yang sangat berbeda.

Adalah menarik untuk dicatat bahwa DOGE, di bawah kepemimpinan Musk, tampaknya tidak sengaja memasukkan penelitian dengan tikus transgenik ke dalam daftar proyek-proyek yang dituduhkan kepada pemerintahan Biden. Istilah “trans” dalam konteks ini sebenarnya merujuk pada rekayasa genetik. Tikus transgenik adalah tikus yang genomnya diubah atau direkayasa untuk mempelajari fungsi gen tertentu dan berperan penting dalam penelitian biomedis.

Penelitian mengenai tikus transgenik sendiri bukanlah hal baru. Lebih dari empat dekade yang lalu, pada tahun 1974, para ilmuwan Beatrice Mintz dan Rudolf Jaenisch berhasil menciptakan tikus pertama yang direkayasa secara genetik dengan cara menyisipkan DNA virus ke dalam embrio tikus. Sejak saat itu, tikus transgenik telah menjadi salah satu model hewan yang banyak digunakan dalam penelitian ilmiah untuk memahami berbagai aspek biologi manusia.

Tak hanya itu, dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi rekayasa genetik semakin pesat. Salah satu contoh terbaru adalah proyek yang dilakukan oleh Colossal Bioscience, sebuah perusahaan yang bercita-cita untuk menghidupkan kembali gajah berbulu mamut. Mereka menciptakan tikus transgenik berbulu mamut sebagai langkah awal menuju ambisi tersebut. Proyek ini menunjukkan betapa pentingnya tikus transgenik dalam penelitian genetika dan upaya konservasi spesies.

Di sisi lain, ketika kita berbicara mengenai transgender, istilah ini merujuk kepada orang-orang yang mengidentifikasi diri dengan gender yang berbeda dari jenis kelamin yang diberikan saat lahir. Ini adalah isu yang lebih kompleks dan menyentuh aspek sosial serta hak asasi manusia. Di bawah pemerintahan Trump, selama masa jabatannya, terdapat berbagai kebijakan yang dianggap anti terhadap hak-hak transgender dan upaya untuk mempromosikan keragaman, kesetaraan, serta inklusi, yang sekarang menjadi fokus utama pemerintahan Biden.

Dalam konteks ini, ketegangan antara sudut pandang pemerintahan Trump dan Biden semakin tampak jelas. Trump dan keurutan kebijakannya di DOGE tampaknya mencerminkan sikap yang menolak adanya pengakuan terhadap identitas transgender, sedangkan pemerintah Biden berusaha untuk melindungi hak-hak individu, termasuk mereka yang berasal dari komunitas LGBTQ+.

Hal ini menunjukkan bahwa penting untuk memahami perbedaan antara dua istilah ini, serta relevansi riset yang mengangkat isu tersebut. Selain itu, perlu dipahami bahwa konteks sains dan etika berkaitan dengan keduanya, terutama dalam dunia yang semakin terbuka terhadap keberagaman dan pemahaman terhadap identitas gender.

Permasalahan ini bukan hanya sekadar fakta yang beredar, tetapi juga merefleksikan perubahan sosial yang lebih besar dan tentang bagaimana kita mendefinisikan diri kita di tengah kemajuan ilmu pengetahuan. Ini adalah saat yang menarik untuk memahami bagaimana penelitian dasar dapat berdampak pada kebijakan, norma sosial, dan identitas, serta bagaimana kesalahpahaman dapat muncul dalam komunikasi publik, terutama ketika melibatkan istilah-istilah yang kurang dipahami oleh masyarakat umum.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved