Dari "Kampus Merdeka" ke "Kampus Berdampak": Arah Baru Pendidikan Tinggi Indonesia
Tanggal: 7 Mei 2025 19:49 wib.
Tampang.com – Dalam momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi meluncurkan tagline baru: “Kampus Berdampak”. Tagline ini menggantikan jargon besar sebelumnya, “Kampus Merdeka”, yang selama beberapa tahun menjadi simbol transformasi pendidikan tinggi era Menteri Nadiem Makarim.
Tagline Baru, Misi yang Lebih Progresif
Peluncuran tagline “Kampus Berdampak” diumumkan oleh Prof. Khairul Munadi, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, dengan penekanan bahwa perguruan tinggi kini dituntut untuk melangkah lebih jauh dari sekadar pusat ilmu. Kampus diharapkan dapat berkontribusi langsung dalam transformasi sosial, menyelesaikan persoalan riil masyarakat, dan berperan aktif dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
“Kampus bukan hanya tempat pengajaran dan riset. Ia harus memberi dampak nyata bagi masyarakat,” tegas Khairul.
Kampus Tak Lagi Sekadar Akademik
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Brian Yuliarto, Ph.D., menambahkan bahwa “Kampus Berdampak” akan mengarahkan seluruh pemangku kepentingan—mahasiswa, dosen, dan mitra industri—untuk bekerja kolaboratif. Mahasiswa akan didorong menjadi penggerak utama perubahan, dengan riset sebagai fondasi pembangunan yang nyata.
Di sinilah perbedaan mendasar muncul dibanding “Kampus Merdeka” yang lebih berfokus pada fleksibilitas dan pengembangan potensi individu mahasiswa.
Filosofi Pendidikan yang Bergeser
Jika “Kampus Merdeka” berakar pada humanisme individualistik dan eksistensialisme, di mana kebebasan belajar menjadi prinsip utama, maka “Kampus Berdampak” dibangun di atas nilai-nilai humanisme sosial, etika komunal, dan bahkan ekosentrisme.
Dengan filosofi baru ini, pendidikan tinggi diharapkan mampu:
Mengatasi masalah sosial-lokal
Membentuk kesadaran kritis sivitas akademika
Menjaga keseimbangan antara pembangunan dan ekologi
Masalah Struktural: Tantangan di Balik Slogan
Meski gagasan “Kampus Berdampak” terdengar ideal, tantangan mendasar dunia pendidikan tinggi masih belum terselesaikan. Di antaranya:
Kesejahteraan dosen yang rendah dan sering diabaikan, memaksa mereka mencari pendapatan tambahan di luar kampus.
Otonomi keuangan kampus yang menciptakan kesenjangan antara PTN dan PTS.
Beban administratif dosen yang berlebihan, menggeser peran utama mereka dari pendidik menjadi birokrat.
Politik kampus yang sarat intrik, menjauhkan dunia akademik dari integritas dan fokus ilmiah.
“Kampus tak bisa jadi motor perubahan sosial jika dosennya sibuk mengejar laporan birokrasi dan jabatan struktural,” kata salah satu akademisi senior.
Solusi: Klusterisasi Perguruan Tinggi
Untuk mengatasi kekacauan struktural, salah satu solusi yang ditawarkan adalah klusterisasi kampus berdasarkan fungsi dan kapasitasnya. Kampus bisa dibagi menjadi:
Teaching University: Fokus pada pengajaran S1/Vokasi.
Research University: Berbasis riset dan pengembangan S2/S3.
Entrepreneurial University: Menghasilkan lulusan pencipta lapangan kerja.
World-Class University: Bertaraf internasional dan berorientasi global.
Dengan pendekatan ini, kampus tidak perlu saling bersaing dalam semua bidang. Masing-masing dapat fokus pada kekuatannya dan mengembangkan strategi pendanaan serta SDM yang lebih realistis.
Rebranding Saja Tidak Cukup
Pergantian slogan dari “Kampus Merdeka” ke “Kampus Berdampak” akan sia-sia jika tidak diikuti oleh pembenahan sistemik yang menyentuh akar persoalan. Kita butuh:
Reformasi birokrasi kampus
Dukungan kesejahteraan dosen
Ekosistem riset yang adil
Pembatasan politik praktis di lingkungan akademik
“Kado terbaik untuk Hardiknas bukan slogan baru, tapi keberanian membenahi sistem pendidikan tinggi secara menyeluruh.”