Bumi Bergeser! Ribuan Gigaton Air Hilang, Sumbu Rotasi Terpeleset hingga 45 Cm—Apa Dampaknya untuk Kita?
Tanggal: 1 Jun 2025 10:33 wib.
Sebuah studi ilmiah terbaru mengungkap fakta mengejutkan: sumbu rotasi Bumi telah mengalami pergeseran signifikan sejak awal abad ke-21. Penyebab utama dari fenomena ini bukanlah aktivitas tektonik atau pergerakan lempeng bumi, melainkan kehilangan air tanah dalam jumlah besar dari permukaan Bumi. Dalam kurun waktu hanya dua tahun, dari 2000 hingga 2002, tercatat lebih dari 1.600 gigaton air lenyap dari daratan. Dampak dari perubahan distribusi massa ini menyebabkan sumbu rotasi Bumi bergeser hingga sekitar 45 sentimeter.
Fenomena ini dianggap sebagai salah satu tanda bahwa aktivitas manusia secara langsung dan tidak langsung mampu memengaruhi kestabilan planet secara fisik. Air yang semula tersimpan dalam tanah dipompa keluar untuk irigasi, konsumsi, dan keperluan industri. Setelah digunakan, air ini tidak kembali ke tanah, melainkan mengalir ke sungai dan akhirnya berujung ke laut. Akibatnya, terjadi redistribusi massa besar-besaran di permukaan planet, dan hal ini memengaruhi dinamika rotasi Bumi.
Profesor Clark Wilson, seorang ahli geofisika dari University of Texas di Austin sekaligus salah satu penulis penelitian, menjelaskan bahwa perubahan lokasi massa air memengaruhi momen inersia Bumi. Dalam istilah sederhana, perpindahan air dari daratan ke lautan menciptakan ketidakseimbangan yang kemudian menggeser sumbu rotasi planet. “Ketika Anda memindahkan volume besar air dari tanah ke laut, Anda sedang mengubah distribusi massa Bumi, dan ini berdampak langsung pada poros rotasinya,” kata Wilson sebagaimana dikutip dari Science Focus pada Senin, 19 Mei 2025.
Penelitian yang dipimpin oleh Prof Ki-Weon Seo dari Seoul National University ini memanfaatkan kombinasi data radar satelit dan model kelembaban tanah global untuk merekonstruksi perubahan simpanan air di seluruh dunia sejak akhir abad ke-20. Dengan pendekatan ilmiah ini, para peneliti dapat mendeteksi pola penurunan kelembaban tanah dalam skala global.
Temuan mereka menunjukkan bahwa antara tahun 2000 dan 2002, tidak hanya terjadi pengurangan drastis air tanah, tetapi dampaknya juga terasa pada kenaikan permukaan laut global yang melonjak sekitar 1,95 milimeter per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi dari pencairan es di Greenland, yang hanya menyumbang sekitar 0,8 milimeter per tahun dalam periode yang sama.
Yang mengkhawatirkan, tren kehilangan air tanah ini tidak berhenti di situ. Dari tahun 2003 hingga 2016, sekitar 1.000 gigaton air tanah kembali hilang. Hingga tahun 2021, belum ada tanda-tanda bahwa tingkat kelembaban tanah telah pulih ke kondisi semula. Ini menunjukkan adanya pergeseran jangka panjang dalam pola penyimpanan air di daratan, dan kemungkinan besar menjadi sinyal krisis air yang lebih luas di masa depan.
Dampak dari pergeseran sumbu Bumi tidak hanya bersifat akademis atau geofisik. Wilson menekankan bahwa meskipun perubahan sebesar 45 cm tampak kecil dalam skala global, implikasinya terhadap teknologi seperti GPS dan sistem navigasi lainnya bisa sangat besar. Sistem navigasi satelit bergantung pada posisi rotasi Bumi yang presisi, dan pergeseran poros bahkan dalam skala milimeter saja bisa menimbulkan kesalahan perhitungan dalam penentuan lokasi.
Perlu dicatat bahwa pergeseran ini juga berkorelasi dengan wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan ekstrem dalam dua dekade terakhir, seperti Asia Timur dan Tengah, sebagian besar Amerika Utara dan Selatan, serta kawasan Afrika Tengah. Artinya, ada hubungan erat antara perubahan iklim regional, kekeringan, dan pergeseran massa air global.
Penelitian ini menjadi peringatan keras akan dampak lingkungan dari eksploitasi air tanah yang berlebihan. Ketergantungan manusia terhadap air tanah semakin besar, namun sistem alam tidak mampu menyeimbangkan pengambilan dan pengisian ulang. Jika tren ini berlanjut, bukan hanya ketersediaan air yang terancam, tetapi juga stabilitas fisik planet yang kita huni.
Para ilmuwan kini menyerukan pentingnya konservasi air tanah dan perencanaan tata guna air yang lebih berkelanjutan. Penelitian ini juga menjadi bukti bahwa aktivitas manusia telah masuk ke tahap di mana kita mampu mengubah dinamika planet secara fundamental. Pergeseran sumbu Bumi bukan hanya soal teori ilmiah, tetapi juga sinyal bahwa keseimbangan alam mulai terganggu.
Kini, pemantauan terhadap pergerakan sumbu Bumi dilakukan dengan akurasi tinggi, bahkan hingga ukuran milimeter. Teknologi satelit dan sistem pemantauan global terus dikembangkan untuk memastikan bahwa setiap perubahan sekecil apapun bisa terdeteksi dini.
Apakah pergeseran sumbu rotasi ini akan memengaruhi kehidupan sehari-hari kita dalam waktu dekat? Mungkin belum secara langsung. Namun sebagai indikator lingkungan, ini adalah tanda serius bahwa perubahan mendasar tengah berlangsung di balik rutinitas kehidupan kita. Dunia bergerak, secara harfiah—dan kita semua perlu waspada.