Bukti Krisis Air: Fenomena Kiamat Bumi yang Mengerikan
Tanggal: 25 Nov 2024 06:02 wib.
Bukti "kiamat" Bumi semakin banyak ditemukan, menunjukkan bahwa persediaan air bersih di Bumi turut menipis sejak Mei 2024. Tanda-tanda krisis kehidupan di Bumi itu nampak dari satelit milik NASA dan Jerman yang telah mengamati fenomena tersebut. Penelitian yang dipublikasikan di Surveys in Geophysics menyebutkan bahwa data tersebut adalah indikasi Bumi memasuki "era baru" yang lebih kering.
Melalui pengamatan satelit, tergambar bahwa rata-rata volume air tawar yang tersimpan di daratan sepanjang tahun 2015-2023 menyusut hingga 1.200 kubik km dibanding periode 2002-2014. Data tersebut mencakup air tawar yang terlihat di permukaan seperti danau dan sungai serta air di bawah tanah.
Matthew Rodell, salah seorang penulis laporan penelitian dan ahli hidrologi NASA, mengungkapkan bahwa volume air tawar yang "lenyap" dari Bumi setara 5 kali isi Danau Toba.
Perkirakan volume Danau Erie mencapai 480 kilometer kubik atau dua kali lipat volume air di Danau Toba yang diperkirakan mencapai 240 kilometer kubik. Hal ini menunjukkan dampak yang signifikan terhadap ekosistem air di Bumi.
Fenomena iklim kering beserta pembangunan sistem irigasi dan pengairan yang mengandalkan air tanah, berdampak kepada penurunan suplai air yang tidak bisa tergantikan oleh hujan dan salju yang mencair.
Dalam laporan PBB pada 2024, disebutkan bahwa penurunan volume air tawar berpotensi menyebabkan kelaparan, konflik kekerasan, kemiskinan, hingga penyakit karena membuat penduduk terpaksa mengonsumsi air dari sumber yang terkontaminasi.
Data "lenyapnya" air tawar di Bumi dikumpulkan peneliti lewat observasi menggunakan satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) yang dikelola bersama oleh German Aerospace Center, German Research Centre for Geosciences, dan NASA.
GRACE mengukur fluktuasi gravitasi Bumi setiap bulan dengan memantau perubahan massa air di atas dan bawah permukaan Bumi.
Penurunan volume air tawar dimulai dengan kekeringan luas di wilayah Brasil bagian utara dan tengah, diikuti oleh kekeringan di wilayah Australasia, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, dan Afrika. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena krisis air tidak hanya terjadi pada wilayah tertentu, tetapi merata di berbagai belahan dunia.
Pada saat yang bersamaan, kenaikan suhu air laut di wilayah Pasifik antara 2014-2016 menimbulkan peristiwa El Nino paling berdampak sejak 1950-an sehingga mengubah pola pergerakan angin, cuaca, dan hujan di seluruh dunia.
Setelah dampak "kering" dari El Nino mulai mereda, volume air tawar secara global tidak pulih. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak dari perubahan iklim dapat mempengaruhi ketersediaan air di berbagai wilayah dunia.
Para peneliti memperkirakan penyusutan persediaan air secara ekstrem ini disebabkan oleh "kiamat" pemanasan global. Michael Bosilovich dari NASA menyatakan bahwa pemanasan global menyebabkan atmosfer menahan uap air lebih banyak dan lebih lama sehingga menimbulkan curah hujan ekstrem.
Periode panjang antara hujan yang intens ini membuat tanah mengering dan lebih padat. Hasilnya, kemampuan tanah menyerap air hujan turun. Ia mengatakan bahwa level air tawar tetap rendah sepanjang El Nino 2014-2016 pada saat air "terperangkap" di atmosfer.
Konsekuensi dari fenomena krisis air yang terjadi di berbagai belahan dunia perlu mendapat perhatian serius. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk menjaga kelestarian sumber daya air, mulai dari upaya penghematan air, pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, hingga peningkatan kesadaran akan pentingnya konservasi air di masyarakat global.
Semua pihak, baik pemerintah, organisasi internasional, maupun individu, harus bersatu tindak untuk menjaga keberlangsungan sumber air bersih di Bumi. Dengan demikian, masa depan ketersediaan air yang lebih baik dapat diwujudkan.