Bisakah Orang Tua Menentukan Jenis Kelamin Anak yang Akan Dilahirkan? Sebuah Tinjauan Ilmiah
Tanggal: 19 Jul 2025 08:36 wib.
Keinginan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu sudah ada sejak lama, mendarah daging di berbagai budaya dan keluarga. Banyak mitos atau keyakinan turun-temurun beredar tentang cara "merencanakan" anak laki-laki atau perempuan, mulai dari posisi saat berhubungan intim, pola makan, hingga waktu tertentu. Namun, apakah ada dasar ilmiahnya? Apakah penelitian modern mendukung klaim bahwa orang tua bisa secara aktif menentukan jenis kelamin calon anak? Mari kita lihat lebih dekat fakta-fakta ilmiahnya.
Bagaimana Jenis Kelamin Ditentukan: Peran Kromosom X dan Y
Secara fundamental, jenis kelamin seorang anak ditentukan pada saat pembuahan, yaitu ketika sel sperma membuahi sel telur. Proses ini sepenuhnya bergantung pada jenis kromosom seks yang dibawa oleh sperma ayah. Sel telur ibu selalu membawa kromosom X. Sementara itu, sel sperma ayah bisa membawa kromosom X atau kromosom Y.
Jika sperma yang membawa kromosom X membuahi sel telur (yang juga membawa X), hasilnya adalah embrio XX, yang akan berkembang menjadi anak perempuan.
Jika sperma yang membawa kromosom Y membuahi sel telur (yang membawa X), hasilnya adalah embrio XY, yang akan berkembang menjadi anak laki-laki.
Dari sini jelas, peran ayah dalam menentukan jenis kelamin anak sangat krusial, karena sperma ayah adalah satu-satunya sumber kromosom Y. Ibu tidak memiliki kromosom Y. Jadi, secara alami, peluang untuk mendapatkan anak laki-laki atau perempuan adalah sekitar 50:50.
Mitos dan Metode Populer yang Tidak Terbukti Ilmiah
Selama berabad-abad, berbagai "metode penentuan jenis kelamin" telah muncul dan populer. Beberapa yang sering disebut antara lain:
Diet Khusus: Ada keyakinan bahwa mengonsumsi makanan tertentu (misalnya, lebih banyak daging dan makanan asin untuk anak laki-laki, atau produk susu dan sayuran untuk anak perempuan) dapat mengubah pH lingkungan rahim, sehingga lebih menguntungkan sperma X atau Y.
Waktu Berhubungan Intim: Metode Shettles, misalnya, menyarankan berhubungan intim beberapa hari sebelum ovulasi untuk anak perempuan (karena sperma X dianggap lebih lambat tapi lebih tahan lama) atau tepat pada hari ovulasi untuk anak laki-laki (karena sperma Y dianggap lebih cepat tapi kurang tahan lama).
Posisi Berhubungan Intim: Keyakinan bahwa posisi tertentu bisa membantu sperma Y mencapai sel telur lebih cepat atau sebaliknya.
Namun, tidak ada studi ilmiah yang kuat dan teruji secara klinis yang membuktikan efektivitas metode-metode ini secara konsisten. Penelitian yang mencoba menguji metode-metode ini umumnya menghasilkan temuan yang tidak signifikan atau kebetulan semata. Keberhasilan yang diklaim seringkali tidak lebih dari probabilitas alami 50:50 yang kebetulan terjadi. Para ahli kesuburan dan ginekolog secara luas tidak merekomendasikan metode-metode ini karena kurangnya bukti ilmiah yang kredibel.
Metode Ilmiah: PGD dan Mikro-sortasi Sperma (dengan Batasan)
Meskipun metode tradisional tidak didukung sains, ada teknologi medis yang memang memungkinkan penentuan jenis kelamin dengan akurasi tinggi, meskipun penggunaannya sangat terbatas dan etisnya diperdebatkan:
Diagnosis Genetik Pra-Implantasi (PGD): Ini adalah bagian dari prosedur In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung. Setelah sel telur dibuahi di laboratorium, embrio yang terbentuk akan diuji genetiknya untuk mengetahui jenis kelaminnya (dan juga mendeteksi kelainan genetik tertentu) sebelum ditanamkan kembali ke rahim ibu. Akurasi PGD dalam menentukan jenis kelamin sangat tinggi, mendekati 100%. Namun, PGD utamanya digunakan untuk mencegah penularan penyakit genetik terkait jenis kelamin (misalnya hemofilia yang hanya menyerang laki-laki), bukan semata-mata untuk memilih jenis kelamin karena preferensi orang tua. Penggunaan PGD untuk "pilihan jenis kelamin" non-medis sangat diatur atau bahkan dilarang di banyak negara karena alasan etika.
Mikro-sortasi Sperma (Sperm Sorting): Metode ini mencoba memisahkan sperma yang mengandung kromosom X dari sperma yang mengandung kromosom Y berdasarkan perbedaan massa atau karakteristik lain. Sperma yang diinginkan kemudian digunakan untuk inseminasi buatan atau IVF. Tingkat keberhasilannya lebih rendah dari PGD dan juga tidak 100%. Seperti PGD, metode ini juga seringkali dikembangkan untuk alasan medis (misalnya mencegah penyakit genetik), bukan semata untuk pilihan jenis kelamin.
Penting untuk dipahami bahwa metode-metode ilmiah ini bersifat invasif, mahal, tidak selalu berhasil, dan memiliki batasan etika serta hukum yang ketat di banyak yurisdiksi. Ini bukan prosedur yang bisa diakses secara bebas hanya untuk "memilih" jenis kelamin anak.
Berdasarkan pemahaman ilmiah saat ini, tidak ada studi atau bukti yang menunjukkan bahwa orang tua dapat secara alami atau melalui metode non-medis memengaruhi jenis kelamin calon anak yang akan dilahirkan dengan tingkat keberhasilan yang dapat diandalkan. Penentuan jenis kelamin adalah proses biologis yang kompleks yang terjadi pada tingkat sel dan kromosom.