Sumber foto: iStock

Benarkah Micin Buruk Buat Kesehatan? Ini Faktanya

Tanggal: 29 Agu 2024 22:24 wib.
Selama lebih dari setengah abad, monosodium glutamat (MSG) alias micin digunakan sebagai bumbu tambahan untuk memberikan cita rasa gurih dan nikmat pada masakan. Namun, di sisi lain, micin juga memiliki reputasi buruk karena diklaim dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan refluks asam. Namun, apakah benar micin buruk untuk kesehatan, apakah ada faktor lain yang perlu diungkapkan?

Menurut studi keamanan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat pada tahun 1995, MSG dinyatakan aman untuk dikonsumsi. MSG sendiri merupakan garam natrium dari asam amino dan asam glutamat. Studi tersebut melaporkan bahwa terdapat beberapa gejala ringan dalam jangka pendek yang mungkin muncul, seperti sakit kepala, kemerahan pada wajah, dan rasa ngantuk, namun hal ini dialami oleh individu yang sensitif terhadap MSG setelah mengkonsumsi dalam jumlah besar, yaitu lebih dari 3 gram tanpa disertai makanan.

“Mengonsumsi lebih dari 3 gram MSG tanpa dicampur makanan pada satu waktu adalah hal yang tidak mungkin,” demikian pernyataan FDA yang dikutip oleh Live Science.

Meskipun MSG telah dianggap aman untuk dikonsumsi puluhan tahun yang lalu, mengapa masih banyak orang yang khawatir untuk mengkonsumsinya pada saat ini? Ketakutan akan konsumsi MSG sebenarnya telah dimulai sejak lama. Hal ini berasal dari sebuah surat lama, rangkaian penelitian yang menyimpang, serta pengaruh media massa pada tahun 1960-an.

Reputasi buruk micin dimulai pada tahun 1968 ketika seorang dokter bernama Robert Ho Man Kwok dari Maryland menulis surat kepada New England Journal of Medicine. Dalam suratnya, ia menggambarkan gejala yang dialaminya setelah mengonsumsi makanan khas China Utara, yang mencakup mati rasa, lemas, dan detak jantung yang tidak teratur. Kwok menyebut apa yang ia alami sebagai “Chinese Restaurant Syndrome” dan menduga bahwa garam, anggur, atau MSG mungkin menjadi penyebabnya.

MSG sendiri dikembangkan oleh seorang ahli kimia Jepang bernama Kikunae Ikade pada awal abad ke-20. Micin kemudian menjadi bahan tambahan yang umum digunakan dalam masakan Asia Timur melalui imperialisme Jepang. Pada sekitar tahun 1926, MSG mulai masuk ke Amerika Serikat melalui restoran-restoran China dan makanan kaleng seperti yang diproduksi oleh Campbell's Soup Company.

Pada saat surat Kwok ditulis, micin telah menjadi bahan tambahan makanan yang tersebar luas dan dapat ditemukan di hampir semua jenis makanan olahan, makanan kemasan, dan makanan yang disajikan di restoran, bahkan menjadi bumbu umum di dapur rumah tangga.

Beberapa dokter dan ilmuwan menyikapi surat Kwok dengan menjelaskan versi mereka sendiri mengenai Chinese Restaurant Syndrome, namun hanya sedikit gejala yang dilaporkan. Dalam hal ini, masyarakat juga menilai bahwa apa yang ditulis oleh dokter dan para ilmuwan tentang Chinese Restaurant Syndrome tidaklah sepenuhnya akurat, salah satunya adalah pendapat dari Dr. Howard Steel, seorang ahli bedah ortopedi yang menantang pernyataannya yang dimuat di New England Journal of Medicine.

Namun, saat itu media lebih menyukai pemberitaan yang menciptakan sensasi untuk diangkat sebagai berita utama dengan judul seperti "Chinese Restaurant Syndrome Puzzles Doctors" yang dapat menimbulkan stigma negatif terhadap makanan China.

Penyebab Stigma terhadap Micin

Pada mulanya, tidak ada bahan tertentu yang secara pasti dikaitkan dengan Chinese Restaurant Syndrome. Hal ini karena surat Kwok menyebutkan adanya tiga kemungkinan penyebab kondisi yang dialaminya. Namun, antara tahun 1968 dan 1969, sejumlah penelitian yang dilakukan dengan cara yang tidak benar berusaha untuk menetapkan Chinese Restaurant Syndrome sebagai sebuah kondisi medis yang disebabkan oleh MSG.

"Jika Anda melihat uji klinisnya, hasilnya cukup ekstrem," kata Dr. Fred Cohen, seorang spesialis sakit kepala dan juga asisten profesor kedokteran dan neurologi di Icahn School of Medicine di Mount Sinai, New York, yang baru-baru ini melakukan penelitian dan membuktikan bahwa MSG aman untuk dikonsumsi.

Penelitian terdahulu yang telah menjadi dasar reputasi buruk MSG ternyata dibuat dengan cara yang sangat bias. Dalam studi tanpa bukti ini, para peneliti memberikan sup pangsit kepada relawan yang sebelumnya mengalami reaksi buruk setelah mengkonsumsi makanan di restoran China, untuk melihat apakah para relawan tersebut akan mengalami respons negatif atau tidak. Dengan hasil yang sudah terduga, para relawan tersebut tentu saja kemudian mengalami gejala, sebab mereka telah memiliki riwayat reaksi sebelumnya.

Studi-studi berikutnya pun menguji efek MSG terhadap kesehatan tikus dan menghubungkan zat aditif ini dengan lesi otak dan obesitas. Namun, dalam studi ini, MSG disuntikkan di bawah kulit tikus, bukan dikonsumsi seperti yang dilakukan manusia. Disamping itu, penelitian ini pun melibatkan pemberian MSG dalam dosis yang sangat tinggi.

Dengan terus-menerusnya para peneliti menerbitkan hasil penelitian yang salah serta diseminasi media massa terhadap hasil studi yang salah kaprah tersebut, maka terbentuklah persepsi masyarakat yang negatif terhadap MSG. Orang-orang pun kemudian melihat MSG sebagai racun, dan restoran China sebagai sumbernya.

Sejak saat itu, banyak restoran China mulai memasang tanda "Tanpa MSG" di jendela restoran mereka. Produsen makanan juga menambah keterangan yang sama di kemasan produknya. Bahkan, pada tahun 2024, ulasan pengguna di situs Yelp masih dipenuhi dengan diskusi mengenai gejala yang disebabkan oleh MSG, meskipun telah ada banyak penelitian yang telah membantah asumsi ini.

"Makanan cepat saji dan camilan biasanya mengandung MSG yang tinggi, namun tidak menimbulkan keluhan yang sama," kata Kantha Shelke, kepala ilmuwan di Corvus Blue LLC, sebuah perusahaan riset dan regulasi ilmu pangan dan nutrisi yang berpusat di Chicago. "Sebaliknya, makanan seperti tomat, jamur, dan keju secara alami mengandung MSG tapi tidak ada diskusi tentang Sindrom Restoran Italia."

Shelke juga menyebutkan bahwa terdapat pengaruh sugesti yang perlu diperhitungkan. Stigma terhadap micin dan masakan China merangkum efek nocebo, yaitu fenomena di mana ekspektasi atau keyakinan negatif tentang suatu zat dapat menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan, bahkan tanpa ada penyebab fisiologis apapun.

Dalam ulasan mereka, Cohen dan timnya menemukan bahwa meskipun MSG bisa menjadi pemicu potensial gejala sakit kepala, banyak dari penelitian tersebut menggunakan dosis MSG yang jauh lebih tinggi dari konsumsi normal. Uji klinis juga melaporkan hasil yang saling bertentangan dan peran MSG dalam menyebabkan migrain pun tidaklah jelas.

Terdapat berbagai macam bahan seperti alkohol, susu, atau telur, yang secara umum dianggap aman, tapi ternyata dapat memicu sakit kepala bagi individu tertentu, kata Cohen. Dengan demikian, penting untuk mempertimbangkan bahwa mungkin ada individu yang lebih peka terhadap zat-zat tertentu daripada yang lain, yang menyebabkan reaksi terhadap bahan makanan tersebut.

 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved