Sumber foto: Canva

Asal Usul Tradisi Mengibarkan Bendera Setengah Tiang

Tanggal: 29 Agu 2025 09:08 wib.
Ketika bendera negara dikibarkan tidak sampai puncak tiang, melainkan di tengah-tengah, itu adalah pemandangan yang universal dan langsung dikenali sebagai tanda berkabung. Tradisi ini dilakukan untuk menghormati dan mengenang mereka yang telah wafat, baik itu tokoh penting negara, korban tragedi, atau hari berkabung nasional. Namun, di balik isyarat duka yang begitu familiar ini, tersimpan sejarah panjang yang berawal dari lautan dan pertempuran berabad-abad lalu.

Makna dan Simbolisme

Mengibarkan bendera setengah tiang bukan hanya sekadar menurunkan posisi bendera. Tindakan ini punya makna yang dalam. Secara simbolis, posisi bendera yang diturunkan memberi ruang "di atasnya" untuk bendera tak kasat mata, yaitu bendera duka. Ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa ada kehilangan besar yang menimpa bangsa, dan kehormatan tertinggi diberikan kepada mereka yang telah tiada. Bendera yang diturunkan juga bisa diartikan sebagai tanda bahwa bendera itu sendiri sedang berduka, tidak berkibar penuh dengan kebanggaan seperti biasanya, melainkan ikut tunduk dalam kesedihan.

Tradisi ini bisa dilakukan untuk berbagai alasan, seperti:


Kematian kepala negara atau tokoh penting.
Peringatan tragedi nasional atau serangan teroris.
Hari berkabung nasional yang ditetapkan untuk menghormati pahlawan atau korban perang.
Kematian anggota militer yang gugur dalam tugas.


Teori dan Kisah Awal dari Lautan

Asal usul paling umum dari tradisi mengibarkan bendera setengah tiang berakar pada etika kelautan pada abad ke-17. Pada masa itu, bendera adalah simbol kedaulatan yang sangat penting bagi kapal. Salah satu kisah yang paling sering diceritakan adalah insiden yang terjadi pada tahun 1612. Sebuah kapal Inggris yang kembali dari perjalanan berbahaya di laut dengan salah satu awak kapalnya meninggal, memutuskan untuk menurunkan benderanya sebagai tanda penghormatan.

Kisah lain yang lebih sering disebut adalah tradisi untuk memberi ruang bagi "bendera kematian". Menurut beberapa sejarawan maritim, ketika sebuah kapal mengibarkan bendera setengah tiang, itu berarti mereka memberikan ruang di tiang bendera untuk bendera tak kasat mata yang melambangkan kematian. Bendera duka ini mengisyaratkan kepada kapal lain bahwa mereka sedang dalam kondisi berkabung.

Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa tradisi ini adalah sebuah isyarat penghormatan kepada bendera kematian yang tak kasat mata yang melayang di atas bendera negara yang berduka. Atau, tindakan ini melambangkan penyerahan sebagian kehormatan bendera kepada entitas yang lebih tinggi, yaitu kematian itu sendiri, sebagai tanda duka dan kesedihan yang mendalam.

Perkembangan Tradisi Menjadi Praktik Formal

Seiring berjalannya waktu, tradisi dari laut ini mulai diadopsi oleh angkatan darat dan kemudian oleh pemerintah. Negara-negara Eropa dan Amerika Utara mulai secara formal menetapkan aturan untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan publik. Pada tahun 1799, misalnya, bendera Amerika Serikat dikibarkan setengah tiang untuk menghormati kematian George Washington, yang menjadi salah satu preseden penting dalam sejarah.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, tradisi ini semakin disahkan melalui undang-undang dan peraturan resmi di banyak negara. Aturan ini tidak hanya mencakup siapa yang berhak mendapatkan penghormatan ini, tetapi juga berapa lama bendera harus dikibarkan setengah tiang—biasanya dari saat kematian sampai pemakaman, atau untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh pihak berwenang. Ini mengubah tradisi spontan menjadi protokol resmi yang diikuti secara ketat.

Di Indonesia, pengibaran bendera setengah tiang juga diatur dalam undang-undang dan protokol kenegaraan. Hal ini dilakukan pada momen-momen duka nasional, seperti peringatan Hari Berkabung Nasional untuk mengenang tragedi, atau ketika tokoh penting negara, seperti presiden atau mantan presiden, berpulang.

Makna dalam Konteks Modern

Dalam konteks modern, tradisi mengibarkan bendera setengah tiang tidak lagi hanya soal protokol. Ia juga menjadi ekspresi kolektif dari duka dan solidaritas. Saat bendera sebuah negara dikibarkan setengah tiang, itu adalah cara visual bagi seluruh warga negara untuk berbagi rasa duka yang sama, meskipun mereka berada di lokasi yang berbeda. Ini menjadi simbol bahwa sebuah tragedi atau kehilangan tidak hanya menimpa satu individu atau kelompok, melainkan seluruh bangsa.

Sebagai contoh, setelah tragedi serangan teroris atau bencana alam yang merenggut banyak korban jiwa, mengibarkan bendera setengah tiang menjadi cara pemerintah dan rakyat untuk menunjukkan bahwa mereka bersatu dalam kesedihan dan menghormati para korban. Ini menjadi pengingat publik akan kerapuhan hidup dan pentingnya persatuan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved