Asal Usul Istilah pada Jam: Dari Peradaban Kuno Hingga Era Modern
Tanggal: 25 Agu 2025 23:03 wib.
Waktu adalah salah satu konsep paling mendasar dalam kehidupan manusia, tetapi bagaimana kita bisa sampai pada pembagian yang begitu rinci seperti jam, menit, dan detik? Istilah-istilah ini sudah begitu melekat dalam keseharian, sampai kita lupa bahwa mereka punya sejarah panjang dan menarik. Pembagian waktu yang kita kenal sekarang bukanlah penemuan tunggal, melainkan hasil evolusi panjang dari berbagai peradaban kuno yang mencoba memahami dan mengukur perjalanan matahari, bulan, dan bintang.
Jam: Pembagian Waktu yang Berakar pada Peradaban Kuno
Konsep jam sebagai satuan waktu pertama kali muncul jauh sebelum adanya jam mekanik. Peradaban Mesir Kuno, sekitar 3.500 SM, adalah salah satu yang pertama kali membagi siang dan malam menjadi masing-masing 12 bagian. Mereka menggunakan jam matahari (sundial) di siang hari dan jam air (water clock) atau bahkan pengamatan bintang di malam hari untuk menandai berlalunya waktu. Pembagian 12 bagian ini kemungkinan terinspirasi dari sistem numerasi mereka yang menggunakan basis 12 dan juga karena jumlah buku jari di satu tangan (jika dihitung dengan ibu jari) adalah 12.
Sementara itu, peradaban Babilonia dan Yunani Kuno juga punya pengaruh besar. Babilonia menggunakan sistem numerasi berbasis 60, yang kemudian diwarisi oleh bangsa Yunani. Para astronom Yunani seperti Hipparchus kemudian menerapkan sistem ini untuk membagi lingkaran langit menjadi 360 derajat, dan setiap derajat menjadi 60 menit busur, dan setiap menit menjadi 60 detik busur. Konsep ini kelak akan menjadi dasar pembagian lingkaran jam modern. Seiring waktu, ketika jam mekanik mulai diciptakan pada abad pertengahan, ide pembagian jam menjadi 60 menit dan menit menjadi 60 detik mulai diadopsi dari sistem astronomi tersebut, yang membuat pengukuran waktu menjadi lebih seragam dan presisi.
Menit dan Detik: Warisan Babilonia yang Mendunia
Jika jam berakar dari Mesir, maka menit dan detik adalah warisan langsung dari matematika dan astronomi Babilonia. Babilonia, yang hidup sekitar 3.000 SM, memiliki sistem numerasi seksagesimal, yaitu berbasis 60. Mereka menggunakannya dalam perhitungan matematika, termasuk dalam astronomi untuk membagi lingkaran dan lintasan benda langit.
Istilah menit berasal dari bahasa Latin pars minuta prima yang berarti "bagian kecil pertama". Ini merujuk pada pembagian jam menjadi 60 bagian. Pada awalnya, ini adalah konsep matematika yang digunakan oleh para ilmuwan dan astronom, bukan untuk penggunaan sehari-hari. Sementara itu, detik berasal dari bahasa Latin pars minuta secunda, yang berarti "bagian kecil kedua". Istilah ini merujuk pada pembagian menit menjadi 60 bagian yang lebih kecil lagi.
Awalnya, gagasan tentang menit dan detik hanya digunakan oleh para ilmuwan. Jam-jam awal, bahkan pada jam mekanik pertama, hanya memiliki jarum jam karena akurasi yang terbatas. Baru pada sekitar abad ke-16, ketika jam mekanik mulai lebih akurat, jarum menit pertama kali ditambahkan. Jarum detik menyusul belakangan, sekitar abad ke-17. Penambahan jarum-jarum ini menandakan pergeseran besar dalam cara manusia mengukur waktu, dari sekadar jam yang kasar menjadi pengukuran yang jauh lebih presisi untuk keperluan ilmiah dan navigasi.
Standardisasi dan Waktu Universal
Perkembangan teknologi jam yang semakin akurat memunculkan tantangan baru: perlunya standardisasi waktu. Hingga abad ke-19, setiap kota memiliki waktu lokal sendiri yang didasarkan pada posisi matahari. Ini sangat tidak efisien, terutama dengan munculnya kereta api dan telegraf yang membutuhkan jadwal yang seragam.
Pada tahun 1884, Konferensi Meridian Internasional di Washington, D.C., menetapkan waktu standar global dan membagi dunia menjadi 24 zona waktu. Waktu standar ini berpusat pada Meridian Greenwich di London, yang kemudian dikenal sebagai Waktu Rata-Rata Greenwich (GMT) dan menjadi cikal bakal Waktu Universal Terkoordinasi (UTC) yang kita gunakan saat ini.