3 Alasan Kenapa Pria Sering Merasa Sakit Parah Saat Demam
Tanggal: 5 Jul 2025 21:12 wib.
Pernah melihat seorang pria dewasa yang biasanya tangguh mendadak lunglai, merengek, dan menyatakan demam yang dideritanya seperti ambang kematian? Fenomena ini, yang sering disebut sebagai "man flu" atau "flu pria", bukan sekadar lelucon atau drama belaka. Di balik ekspresi berlebihan itu, ada beberapa penjelasan ilmiah dan psikologis yang valid mengapa pria cenderung merasa jauh lebih parah saat demam atau sakit dibandingkan wanita.
1. Respons Imun yang Berbeda: Peran Hormon dan Sistem Kekebalan Tubuh
Salah satu alasan paling signifikan mengapa pria tampak lebih menderita saat demam terletak pada perbedaan respons imun antara pria dan wanita. Ini adalah area penelitian yang terus berkembang, namun beberapa studi menunjukkan adanya peran hormon seks dan genetik dalam modulasi sistem kekebalan tubuh.
Testosteron: Hormon seks pria utama, testosteron, diketahui memiliki efek imunosupresif atau penekan imun. Artinya, kadar testosteron yang tinggi pada pria dapat cenderung menekan respons kekebalan tubuh terhadap patogen seperti virus influenza atau bakteri. Ketika sistem imun pria sedikit terhambat dalam memulai respons penuh, tubuh mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk melawan infeksi, sehingga gejala yang dirasakan bisa lebih intens dan berkepanjangan.
Estrogen: Sebaliknya, hormon seks wanita, estrogen, diyakini memiliki efek imunostimulan, meningkatkan kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk merespons infeksi dengan lebih cepat dan kuat. Ini bisa menjelaskan mengapa wanita, secara umum, mungkin mengalami gejala yang lebih ringan atau pulih lebih cepat dari beberapa jenis infeksi.
Reseptor Imun: Beberapa penelitian juga menunjukkan perbedaan dalam jumlah dan aktivitas reseptor imun tertentu pada sel-sel tubuh pria dan wanita. Misalnya, reseptor TLR7 (Toll-like Receptor 7), yang penting untuk mendeteksi virus, ditemukan lebih aktif pada sel-sel wanita. Respons imun yang lebih cepat dan kuat ini dapat memicu peradangan yang lebih cepat, namun juga membersihkan virus dari sistem lebih efisien, meminimalkan durasi dan intensitas gejala.
Perbedaan fundamental dalam cara kerja sistem kekebalan ini dapat secara fisik membuat pria merasakan dampak infeksi virus atau bakteri dengan tingkat keparahan yang lebih besar.
2. Ambang Batas Nyeri dan Persepsi Sakit
Selain respons imun internal, persepsi nyeri dan ambang batas rasa sakit juga bisa memainkan peran dalam bagaimana pria melaporkan dan merasakan demam. Ini adalah faktor yang lebih kompleks dan dapat dipengaruhi oleh kombinasi biologi, psikologi, dan sosiologi.
Faktor Biologis: Beberapa penelitian menunjukkan perbedaan neurobiologis dalam pemrosesan nyeri di otak pria dan wanita. Ada indikasi bahwa wanita mungkin memiliki ambang batas nyeri yang lebih rendah (merasakan nyeri lebih cepat) tetapi toleransi nyeri yang lebih tinggi (mampu menahan nyeri lebih lama) dibandingkan pria, meskipun ini sangat bervariasi antar individu. Jika pria memiliki toleransi nyeri yang sedikit lebih rendah terhadap "rasa tidak enak" yang menyertai demam, pengalaman subjektif mereka bisa terasa lebih intens.
Faktor Psikologis dan Sosiologis: Sejak kecil, pria seringkali dididik untuk menjadi kuat, tangguh, dan tidak menunjukkan kelemahan. Tekanan sosial untuk tidak "mengeluh" atau terlihat sakit bisa menyebabkan penekanan gejala di awal. Namun, ketika gejala sudah tidak bisa lagi diabaikan, atau ketika mereka akhirnya "membiarkan diri sakit", dampak yang dirasakan mungkin terasa sangat memukul karena sudah tertahan atau diabaikan sejak awal. Kontras antara ekspektasi untuk selalu kuat dan kenyataan fisik saat sakit bisa memperkuat perasaan "mau mati" tersebut.
Ini bukan berarti pria melebih-lebihkan atau pura-pura sakit; melainkan, kombinasi faktor biologis dan psikososial dapat membentuk persepsi mereka terhadap tingkat keparahan gejala.
3. Kurangnya Pengalaman Sakit Ringan yang Sering
Dibandingkan wanita, pria mungkin cenderung memiliki pengalaman yang lebih jarang dengan sakit ringan atau flu biasa yang datang dan pergi. Karena sistem imun wanita mungkin lebih sering "aktif" menghadapi infeksi ringan (seringkali dengan gejala yang lebih terkendali), mereka mungkin lebih terbiasa dengan sensasi demam, pilek, atau batuk.
Bagi pria, dengan respons imun yang mungkin sedikit lebih lambat atau kurang efisien terhadap beberapa patogen, mereka mungkin tidak sering mengalami episode sakit ringan yang konsisten. Ketika infeksi akhirnya menyerang dan menyebabkan demam, sensasi fisik dari demam (meriang, linu, lemas) bisa terasa sangat asing dan intens karena kurangnya paparan atau pengalaman sebelumnya yang serupa. Ketidakterbiasaan ini dapat memperkuat persepsi bahwa gejala tersebut jauh lebih parah daripada yang sebenarnya. Ini seperti seseorang yang jarang berlari mendadak lari maraton; otot-ototnya akan jauh lebih sakit daripada pelari berpengalaman.
Fenomena "man flu" atau pria yang merasa "mau mati" saat demam bukanlah semata-mata drama. Ada penjelasan ilmiah yang valid mengenai perbedaan biologis dalam respons imun dan persepsi nyeri antara pria dan wanita. Selain itu, faktor psikologis dan kurangnya kebiasaan menghadapi sakit ringan juga turut berkontribusi.