Toyota Heran: “Mengapa BBM Pertamina Mengandung Etanol 3,5%?” Menyibak Isu, Fakta, dan Tantangan Energi Nasional
Tanggal: 16 Okt 2025 20:51 wib.
Beberapa waktu terakhir, publik digegerkan oleh pernyataan dari pihak Toyota Indonesia yang “heran” bahwa BBM dasar (base fuel) dari Pertamina mengandung etanol 3,5%. Pernyataan ini memicu pro-kontra, terutama antara produsen otomotif, operator SPBU swasta, pakar energi, dan regulator. Apakah kandungan 3,5% etanol benar-benar problematis atau justru bagian dari strategi transisi energi Indonesia ke masa depan yang lebih hijau? Apa Sih yang Terjadi? Latar Belakang PolemikPembatalan kontrak BBM oleh SPBU swastaBeberapa operator SPBU swasta seperti VIVO dan APR / BPAKR dilaporkan membatalkan pembelian 40.000 barel base fuel dari Pertamina setelah diketahui adanya kandungan etanol sebesar 3,5%. Mereka menyatakan bahwa spesifikasi bahan bakar tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan dan standar internal mereka. Bicara Berita - Bicara Fakta dan Aktual+2detikoto+2Pernyataan ToyotaPihak Toyota (melalui Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Bob Azam) mengaku heran karena di luar negeri kadar etanol pada bahan bakar sudah jauh lebih tinggi misalnya E10, E20, atau bahkan lebih ekstrem hingga E85 atau E100 di beberapa negara. Dengan data itu, mengapa di Indonesia “heboh” jika kadar etanol hanya 3,5%. detikoto+1Penjelasan dan pembelaan dari Pertamina & regulatorPertamina dan pejabat terkait menyatakan bahwa kandungan etanol 3,5% adalah legal dan berada di bawah ambang batas maksimal yang diizinkan oleh regulasi (bahwa etanol hingga 20% diperbolehkan). Mereka juga menyebut bahwa pencampuran etanol adalah praktik internasional yang lazim dan bertujuan untuk mengurangi emisi karbon. detikfinance+3detikfinance+3Antara News+3Pandangan para pakar energiAhli energi dan akademisi menyatakan bahwa penambahan etanol sebesar 3,5% tidak akan berdampak berarti pada performa mesin. Menurut mereka, penurunan kapasitas daya mesin hanya sekitar 1%, yang tidak signifikan untuk penggunaan umum. Bahkan, etanol dapat meningkatkan angka oktan bahan bakar, sehingga proses pembakaran lebih efisien dan emisi gas buang dapat ditekan. detikfinance+2detikoto+2 Keunggulan Pencampuran Etanol pada BBMBerikut beberapa aspek positif dari penambahan etanol di dalam bahan bakar:Pengurangan emisi karbonEtanol merupakan bahan bakar nabati yang mengandung oksigen, membantu pembakaran lebih sempurna dan menurunkan emisi gas karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC). detikfinancePeningkatan angka oktan (RON)Etanol memiliki Research Octane Number tinggi (110–120), sehingga mencampurkannya sedikit ke bensin dapat menaikkan angka oktan, yang membantu mencegah knocking (ledakan dini) dan meningkatkan efisiensi pembakaran. detikfinanceDiversifikasi energi dan pengurangan ketergantungan imporDengan memasukkan bahan bakar nabati dalam campuran, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap minyak fosil impor dan mendukung sektor pertanian lokal (misalnya produksi etanol dari tanaman tebu, jagung, singkong). Antara News+2detikoto+2Memenuhi target transisi energiLangkah ini sejalan dengan kebijakan rendah karbon, dekarbonisasi, dan target net-zero emission Indonesia di masa depan. Antara News+1 Kekurangan atau Tantangan dari Penerapan Etanol 3,5%Namun, tidak semua aspek pencampuran etanol dianggap mulus. Ada tantangan dan kritik yang perlu dicermati:Kepadatan energi lebih rendahEtanol memiliki densitas energi yang lebih rendah dibanding bensin. Menurut beberapa ahli, dengan kadar 3,5%, daya mesin dapat berkurang sekitar 1%. Efek ini sebenarnya relatif kecil, tetapi pada kendaraan dengan performa tinggi atau dalam kondisi ekstrem, bisa terlihat. detikfinanceIsu kompatibilitas mesin dan korosiPada mesin dan komponen bahan bakar lama atau kendaraan klasik yang tidak dirancang untuk bahan bakar bercampur etanol, ada kekhawatiran mengenai korosi atau degradasi seal dan pipa bahan bakar. Meski demikian, sebagian pakar menilai bahwa pada kadar rendah seperti 3,5%, efek negatif ini minimal atau tidak terasa. detikoto+1Keberatan dari operator swasta dan standar internalKarena SPBU swasta sering memiliki standar bahan bakar dan persyaratan mutu sendiri, mereka mungkin menolak membeli bahan bakar yang tidak sesuai spesifikasi internal mereka. Kasus pembatalan pembelian yang sudah disebut sebelumnya memperlihatkan bahwa aspek bisnis dan kepercayaan juga menjadi faktor penting. Bicara Berita - Bicara Fakta dan Aktual+1Persepsi publik dan skeptisismeKarena kurangnya literatur populer dan pemahaman umum tentang etanol dan campuran bahan bakar, muncul skeptisisme: apakah “campuran etanol” berarti bahan bakar “kurang murni” atau “murahan”? Narasi semacam itu menyebar dan dapat memicu penolakan publik. Menjawab “Keheranan” Toyota: Apakah Wajar atau Berlebihan?Pernyataan Toyota bahwa “heran” melihat kehebohan terhadap kandungan 3,5% etanol bisa dimaklumi dari sudut pandang industri otomotif. Karena di banyak negara, penggunaan etanol lebih tinggi sudah menjadi standar (E10, E20, bahkan E85/E100). detikoto+1Toyota menyampaikan bahwa Indonesia sudah lama memiliki kemampuan teknologi etanol 100%, dan bertanya mengapa ada kegaduhan bila angka yang ditetapkan masih relatif rendah. detikotoNamun, pandangan Toyota juga harus mempertimbangkan bahwa standar mesin, regulasi, kebijakan, serta kesiapan infrastruktur bahan bakar di Indonesia berbeda dengan negara-negara maju atau yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan etanol tinggi. Apakah Polemik Ini Layak Dibesar-besarkan?Kandungan etanol 3,5% dalam base fuel Pertamina memang menimbulkan gelombang pro dan kontra. Di satu sisi, langkah ini adalah bagian dari strategi transisi energi, mendukung produksi lokal, dan mengurangi emisi. Di sisi lain, isu kompatibilitas teknis, persepsi pasar, dan penolakan oleh beberapa operator SPBU menunjukkan bahwa tantangan implementasi tidak sesederhana proposisi teoritisnya.Pernyataan “heran” dari Toyota bukan tanpa dasar sebagai pelaku industri otomotif, mereka melihat perspektif performa, keawetan mesin, dan pengalaman konsumen. Tetapi pernyataan tersebut juga perlu diimbangi dengan pemahaman regulasi, kapasitas teknologi lokal, dan kebijakan energi nasional.Yang jelas, polemik ini membuka diskusi penting tentang bagaimana Indonesia bisa maju untuk mengadopsi energi bersih secara bertahap tanpa menimbulkan kerugian besar pada pelaku industri dan pengguna kendaraan. Apakah 3,5% hanya langkah awal kecil, atau batu loncatan menuju campuran etanol lebih tinggi di masa depan waktu dan implementasi nyata akan membuktikan.