Penjualan Mobil Nasional Menurun, Evaluasi Pajak Kendaraan Jadi Kebutuhan Mendesak
Tanggal: 21 Mei 2025 08:52 wib.
Tampang.com | Pasar kendaraan roda empat di Indonesia tengah menghadapi tekanan besar untuk kembali mencapai angka penjualan satu juta unit per tahun. Setelah sempat bangkit pasca-pandemi, tren penjualan mobil mulai melemah kembali, sehingga muncul desakan kuat untuk meninjau ulang kebijakan perpajakan kendaraan bermotor di tanah air.
Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), menegaskan bahwa insentif fiskal selama ini terbukti efektif mendorong pertumbuhan industri otomotif nasional. Ia mencontohkan penurunan drastis penjualan mobil selama pandemi pada 2020 yang hanya mencapai 532.000 unit, lalu naik signifikan menjadi 867.000 unit di 2021 setelah adanya insentif, bahkan sempat menyentuh angka satu juta unit pada 2022 dan 2023. Namun, tren positif ini tidak berlanjut karena penjualan diprediksi hanya mencapai sekitar 850.000 unit di 2024.
“Insentif jangka pendek memang membantu, tapi kondisi ekonomi yang lesu tetap membebani pasar,” kata Kukuh dalam diskusi publik di Jakarta, Senin (19/5/2025). Selain itu, Kukuh juga menyoroti tingginya beban pajak kendaraan yang membuat harga mobil di Indonesia jauh lebih mahal dibanding negara tetangga. Sebagai gambaran, mobil yang keluar pabrik seharga Rp 100 juta bisa meningkat menjadi Rp 150 juta di tangan konsumen akibat pajak yang tinggi.
Perbandingan dengan Malaysia menjadi sorotan. Di sana, pajak kendaraan seperti Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama (BBN) untuk mobil sekelas Toyota Avanza hanya sekitar Rp 1 juta, jauh lebih rendah dibanding Indonesia yang bisa mencapai Rp 6 juta. Selain itu, Malaysia tidak mewajibkan perpanjangan pajak lima tahunan seperti yang berlaku di Indonesia, sehingga mengurangi beban konsumen.
Kukuh menilai perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pajak, termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang selama ini dikenakan pada beberapa jenis kendaraan yang sebenarnya digunakan untuk aktivitas produktif masyarakat. Ia menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan kebijakan pajak jangka panjang yang dapat mendukung pertumbuhan industri sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat.
Senada dengan Kukuh, Peneliti LPEM FEB UI, Riyanto, mengungkapkan bahwa tingginya perpajakan menjadi beban berat bagi industri otomotif nasional. Riyanto menjelaskan bahwa selama 2013–2019, meski pasar stagnan, penjualan mobil tetap berada di angka sekitar satu juta unit per tahun. Namun saat ini, tren penjualan justru menurun.
Data terbaru Januari hingga April 2025 menunjukkan penjualan hanya mencapai 256.368 unit, turun 2,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Jika tren ini berlanjut, total penjualan sepanjang 2025 diperkirakan hanya sekitar 769.104 unit, turun 11 persen dari capaian 2024.
Riyanto menggambarkan kondisi ini sebagai “jatuh tertimpa tangga,” di mana beban pajak kendaraan bisa mencapai 42 persen dari harga jual. Contohnya, mobil seharga Rp 300 juta bisa dikenakan pajak hingga Rp 126 juta. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya evaluasi untuk menemukan keseimbangan yang ideal antara pendapatan negara dan kemampuan beli masyarakat.
Ia juga menyoroti pentingnya insentif fiskal seperti pembebasan PPnBM, yang menurut simulasi dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional—sekitar 0,793 persen. “Pemerintah perlu mempertimbangkan secara cermat cost and benefit kebijakan perpajakan dan insentif, karena dampaknya sangat luas, mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga perkembangan industri otomotif,” ujarnya.