Era Robotaxi Dimulai! Waymo Ekspansi Besar-Besaran, Nasib Sopir Online di Ujung Tanduk?
Tanggal: 15 Mar 2025 20:58 wib.
Kemunculan kendaraan otomatis tanpa awak, yang lebih dikenal dengan istilah autonomous vehicle (AV), semakin meluas dan menjadi bagian penting dari inovasi teknologi transportasi. Salah satu pelopor dalam industri ini adalah Waymo, anak perusahaan dari Alphabet, yang secara aktif mengembangkan dan mengekspansi layanan taksi otomatis atau robotaxi di Amerika Serikat.
Pada Selasa, 11 Maret kemarin, Waymo mengumumkan bahwa mereka telah memperluas jangkauan layanan mereka ke area yang lebih luas di sekitar San Francisco Bay Area. Kini, Waymo dapat melayani penumpang di sekitar Mountain View, Los Altos, Palo Alto, dan beberapa bagian lainnya di Sunnyvale, California. Sebelumnya, pada bulan Juni lalu, Waymo pertama kali membuka layanan mereka untuk publik di San Francisco, meskipun saat itu area layanan masih cukup terbatas.
“Meluncurkan layanan ride-hailing otomatis kami di Silicon Valley adalah tonggak penting dalam perkembangan kami di Bay Area,” ungkap Saswat Panigrahi, Kepala Produk Waymo, dalam pernyataannya yang diwartakan oleh CNBC International. Dalam beberapa waktu terakhir, Waymo juga telah meluncurkan layanan robotaxi komersial di Austin, Texas, sebagai bagian dari strategi ekspansi mereka.
Sementara Waymo kini sudah mengantarkan lebih dari 200.000 perjalanan berbayar per minggu di berbagai kota seperti San Francisco, Los Angeles, dan Phoenix, para pesaingnya seperti Tesla yang dimiliki Elon Musk dan Zoox, anak perusahaan Amazon, masih dalam tahap pengujian dan pengembangan untuk memberikan layanan serupa kepada penumpang.
Di China, tren robotaxi juga sedang meningkat pesat, dengan beberapa perusahaan lokal seperti Cruise, Didi Chuxing, Baidu Apollo, dan Pony.ai yang berfokus pada pengembangan kendaraan tanpa sopir. China menunjukkan niat ambisius untuk mendorong proyek robotaxi dan mobil tanpa sopir dengan melakukan kolaborasi antara raksasa mesin pencari Baidu dan produsen baterai mobil listrik CATL. Kolaborasi ini bertujuan untuk mengembangkan sistem kendaraan tanpa sopir yang efisien dan kompetitif.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Reuters, kini terdapat 19 kota di China yang telah melakukan pengujian robotaxi dan robobus. Apollo Go, layanan robotaxi yang dikelola oleh Baidu, berencana untuk mengoperasikan hingga 1.000 kendaraan robotaxi di Wuhan pada akhir tahun ini, dengan rencana untuk berekspansi ke 100 kota lainnya pada tahun 2030. Pony.ai, yang didukung oleh Toyota, sukses mengoperasikan 300 robotaxi dan merencanakan perluasan operasional hingga 1.000 unit pada tahun 2026.
Pace perkembangan robotaxi di China jauh lebih cepat dibandingkan dengan di Amerika Serikat. "Kecepatan pengembangan di China sangat mencolok. Hal ini didorong oleh penerbitan izin ujicoba dari otoritas setempat secara lebih cepat," kata Augustin Wegscheider, Managing Director Boston Consulting Group. Di sisi lain, di Amerika, pendekatan lebih berhati-hati diterapkan. Waymo saat ini menjadi satu-satunya perusahaan yang telah beroperasi dengan robotaxi di AS, dengan 1.000 kendaraan yang sudah beroperasi di San Francisco, Los Angeles, dan Phoenix.
Cruise, yang didukung oleh General Motors, juga melanjutkan pengujian setelah insiden yang melibatkan kendaraan mereka melanggar area pejalan kaki. Fokus utama Cruise adalah keamanan, dan mereka telah kembali melanjutkan pengujian di tiga kota dengan perhatian khusus terhadap regulasi keselamatan.
Ketika mengamati dampak social yang ditimbulkan oleh teknologi robotaxi, kita tidak bisa tidak memikirkan jumlah sopir online yang terancam kehilangan pekerjaan. China memiliki sekitar 7 juta sopir online terdaftar, sebuah angka yang signifikan dibandingkan dengan hanya 4,4 juta pada dua tahun lalu. Banyak orang beralih ke pekerjaan ini disebabkan adanya kesulitan di pasar kerja akibat kelesuan ekonomi. Di tengah perubahan besar ini, muncul kekhawatiran yang kuat tentang masa depan pekerjaan sopir.
Diskusi terkait hilangnya pekerjaan akibat munculnya robotaxi menjadi topik yang hangat di media sosial selama bulan Juli lalu. Banyak yang bertanya-tanya, "Apakah kendaraan tanpa awak akan mengambil pekerjaan sopir taksi?" Salah satu sopir yang bernama Liu Yi, seorang pria berusia 36 tahun dari Wuhan, mengungkapkan kekhawatirannya. Ia baru saja memulai pekerjaan paruh waktu sebagai sopir online dan takut bahwa keberadaan sistem Full Self-Driving (FSD) dari Tesla dapat mempercepat 'kiamat' bagi para sopir di negara itu.
Tidak hanya Liu Yi, sosok lain seperti Wang Guoqiang, seorang sopir berusia 63 tahun, merasa ancaman tersebut benar-benar nyata. Ia berpendapat, "Ride-hailing adalah pekerjaan untuk kelas bawah. Jika industri ini hancur, apa yang tersisa bagi kita?" Pertanyaan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap dampak teknologi terhadap kehidupan masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan.
Kekhawatiran akan hilangnya pekerjaan akibat robotaxi ini bukan hanya terjadi di Cina, namun juga di berbagai belahan dunia lainnya. Seiring dengan perkembangan teknologi otomasi di berbagai sektor, tantangan yang dihadapi para pekerja semakin beragam. Dalam situasi ini, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperhatikan implikasi sosial yang ditimbulkan oleh inovasi ini. Teknologi memang memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi dan kenyamanan, tapi jika tidak dikelola dengan baik, dampak negatifnya terhadap lapangan kerja bisa sangat besar.