YLKI: Pengoplosan Beras Rendah Jadi SPHP & Premium Rugikan Negara, Petani, dan Konsumen

Tanggal: 27 Jul 2025 22:16 wib.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Niti Emiliana, menegaskan bahwa praktik pengoplosan beras berkualitas rendah yang dikemas ulang sebagai beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) serta premium di Provinsi Riau merupakan bentuk kejahatan yang sangat merugikan berbagai pihak, termasuk negara, petani, dan konsumen.

“YLKI mendukung langkah pemerintah untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap seluruh rantai distribusi beras serta penindakan tegas tanpa pandang bulu terhadap mafia beras,” ujar Niti saat diwawancarai di Jakarta, Minggu.

Niti menilai praktik ini merupakan bentuk penyalahgunaan anggaran negara dan pelanggaran berat terhadap hak dasar konsumen. Ia menekankan bahwa transparansi hasil investigasi sangat diperlukan agar masyarakat mendapat informasi yang utuh dan jelas mengenai pelanggaran tersebut.

“Kami akan terus mengawal kasus ini sampai tuntas. Ini bukan sekadar penipuan dagang, tapi juga bentuk penyalahgunaan dana negara dan pelanggaran terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan pangan yang layak,” jelasnya.

Menurut Niti, beras merupakan salah satu komoditas pangan esensial yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, manipulasi kualitas beras secara sistematis sangat berbahaya dan tak bisa ditoleransi.

Ia juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara tegas mengatur sanksi pidana bagi pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai standar. Ancaman pidananya mencapai lima tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar.

Selain merugikan negara secara ekonomi, tindakan tersebut turut merusak kepercayaan masyarakat terhadap kualitas beras yang beredar di pasaran. Konsumen tidak hanya mengalami kerugian materiil karena membeli beras berkualitas rendah dengan harga tinggi, tetapi juga secara immateriil karena kehilangan rasa aman dan kepercayaan terhadap produk pangan pokok.

“Dalam posisi ini, konsumen berhak untuk menuntut ganti rugi, baik secara materi maupun immateri,” tegas Niti.

Untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang, YLKI menyarankan perlunya pengawasan ketat terhadap rantai pasok beras mulai dari hulu hingga hilir. Pengawasan tidak hanya dilakukan saat beras sudah sampai di pasar (post-market), tetapi juga sebelumnya (pre-market) melalui pemeriksaan dokumen administrasi, sarana dan prasarana, serta uji laboratorium untuk menjamin kualitas.

“Kualitas beras yang dijual di ritel harus terus dipantau secara berkala agar konsumen terlindungi,” kata Niti.

Ia juga mengajak masyarakat untuk turut berperan aktif dalam pengawasan. Konsumen, menurutnya, dapat menjadi pengawas sosial dengan melaporkan kecurangan yang ditemukan di lapangan kepada pihak berwenang. Kehadiran masyarakat kritis sangat penting sebagai bentuk kontrol publik.

Dalam konteks ini, lembaga perlindungan konsumen juga memiliki amanat untuk menjalankan fungsi pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat demi memastikan hak-hak konsumen tidak dilanggar.

Sementara itu, pengungkapan kasus ini dilakukan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Riau berdasarkan instruksi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memberantas segala bentuk kejahatan yang merugikan konsumen.

Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan menjelaskan bahwa operasi penindakan dipimpin langsung oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Kombes Ade Kuncoro pada Kamis (24/7), dan berhasil mengungkap dua modus yang digunakan tersangka R. Pertama, pelaku mencampurkan beras kualitas medium dengan beras reject, lalu mengemasnya kembali sebagai beras SPHP. Kedua, pelaku membeli beras murah dari Pelalawan dan mengganti kemasannya dengan merek premium seperti Aira, Family, Anak Dara Merah, dan Kuriak Kusuik.

Barang bukti yang berhasil diamankan meliputi 79 karung beras SPHP oplosan, 4 karung bermerek premium berisi beras kualitas rendah, 18 karung kosong SPHP, serta sejumlah alat seperti timbangan digital, mesin jahit, dan benang.

“Negara sudah memberikan subsidi untuk menstabilkan harga dan menjaga akses pangan bergizi, tetapi disalahgunakan oleh oknum demi keuntungan pribadi. Ini bukan hanya pelanggaran etik dagang, tapi juga kejahatan terhadap generasi bangsa,” tegas Irjen Herry.

Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf e dan f, serta Pasal 9 ayat (1) huruf d dan h Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp2 miliar.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved