Wajib Sertifikasi Halal Berlaku 2024, Siapa yang Diuntungkan dan Siapa yang Terbebani?
Tanggal: 10 Mei 2025 08:30 wib.
Tampang.com | Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) resmi memberlakukan kewajiban sertifikasi halal mulai Oktober 2024 untuk semua produk makanan dan minuman, termasuk yang diproduksi oleh pelaku UMKM. Aturan ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Tapi, bagaimana dampaknya di lapangan?
Kebijakan yang Menciptakan Standar Baru
Kewajiban sertifikasi halal ini diklaim sebagai langkah perlindungan konsumen Muslim dan bagian dari penguatan ekonomi syariah nasional. Pemerintah juga menargetkan Indonesia menjadi pusat industri halal global.
“Konsumen Indonesia mayoritas Muslim. Sertifikasi halal bukan hanya soal agama, tapi juga jaminan kebersihan dan kualitas produk,” kata Nur Wahid, staf ahli BPJPH.
UMKM Jadi Pihak Paling Terdampak
Meski bertujuan mulia, penerapan wajib sertifikasi halal memunculkan kekhawatiran dari pelaku usaha kecil. Proses sertifikasi dinilai rumit dan menyulitkan, terutama untuk pelaku UMKM di daerah yang minim akses informasi dan bantuan.
“Saya jualan makanan rumahan. Kalau harus ngurus halal dengan biaya dan waktu yang panjang, bisa-bisa usahanya malah berhenti,” ungkap Ibu Murni, pelaku UMKM di Banyumas.
Masalah biaya, birokrasi, dan ketidakjelasan informasi menjadi kendala utama. Banyak pelaku usaha kecil merasa belum siap menghadapi kebijakan ini.
Subsidi Sertifikasi Masih Terbatas
Pemerintah memang menyediakan subsidi untuk pelaku UMKM lewat program sertifikasi halal gratis (sehati), tetapi kuotanya masih jauh dari cukup. Menurut laporan BPJPH, baru sekitar 1 juta dari total 64 juta UMKM yang mendapatkan fasilitasi.
Hal ini menimbulkan ketimpangan akses dan rasa ketidakadilan. Mereka yang mampu membayar lebih dulu akan lebih cepat mendapat sertifikat, sementara usaha kecil harus antre atau menunggu giliran yang belum pasti.
Dampak terhadap Produk Lokal dan Ekonomi Daerah
Kewajiban sertifikasi ini juga bisa berimbas pada menurunnya jumlah produk lokal yang beredar, karena produsen kecil memilih berhenti produksi ketimbang repot mengurus izin.
Padahal, sektor UMKM menjadi tulang punggung ekonomi daerah. Jika akses terhadap sertifikasi tidak segera diperluas dan disederhanakan, maka kebijakan ini justru bisa menekan pelaku usaha kecil daripada mendukung mereka.
Perlu Evaluasi dan Pendekatan Inklusif
Beberapa pengamat kebijakan menilai pemerintah perlu meninjau kembali cara implementasi kebijakan ini. Sertifikasi halal tidak seharusnya menjadi beban, melainkan alat pemberdayaan.
“Solusinya adalah dengan memperluas edukasi, menyederhanakan proses, dan memberikan pendampingan nyata di tingkat lokal,” kata Indra Lesmana dari Lembaga Konsumen Indonesia.
Ketika kebijakan halal dijalankan secara inklusif dan adil, manfaatnya akan terasa lebih luas—tidak hanya untuk konsumen, tetapi juga untuk pelaku usaha kecil yang menjadi penggerak ekonomi nasional.